Sengketa Pajak atas Penetapan BUT Kantor Perwakilan Dagang

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penetapan status bentuk usaha tetap (BUT) atas kantor perwakilan dagang. Wajib pajak merupakan kantor perwakilan dagang dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Jepang (selanjutnya disebut X Co).

Wajib pajak menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan hanya sebatas riset pemasaran, bukan promosi produk. Kegiatan itu hanya bersifat penunjang, persiapan, dan sementara. Wajib pajak tidak ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan suatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang yang ada di Indonesia. Dengan demikian, wajib pajak dikecualikan sebagai BUT.

Sebaliknya, otoritas pajak menilai bahwawajib pajak telah memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Kegiatan usahanya berupa promosi produk juga telah dilakukan secara terus-menerus. Melihat fakta yang ada, wajib pajak tergolong BUT dari pihak X Co.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung ­­­­menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa transaksi ekspor yang dimaksudkan oleh otoritas pajak dalam perkara ini bukan dilakukan oleh wajib pajak, melainkan grup perusahaan X Co di Indonesia.

Lebih lanjut, usaha pemasaran produk pihak X Co kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan oleh perusahaan lain. Laporan bulanan yang disampaikan wajib pajak kepada pihak X Co juga tidak memuat adanya laporan kegiatan promosi atau pemasaran.

Dalam laporan bulanan hanya dijelaskan mengenai kondisi sosial, ekonomi dan politik di Indonesia serta potensi pesaing yang ada. Dengan demikian, dalil otoritas pajak yang menjadikan transaksi impor anggota group X Co di Indonesia sebagai penghasilan wajib pajak dianggap tidak benar.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 74049/PP/M.VIA/27/2016 tertanggal 6 September 2016otoritas pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Desember 2016.

Pokok sengketa atas perkara ini ialah koreksi positif terhadap dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 15 final masa pajak Januari sampai dengan Desember 2012 senilai Rp812.351.893.069,00 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sengketa ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara Pemohon PK dan Termohon PK terkait penentuan status badan hukum yang dijalankan Termohon.

Pemohon PK menilai bahwa Termohon PK merupakan BUT dari pihak X Co. Termohon PK telah memenuhi kriteria sebagai BUT sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) OECD Model. Adapun kriteria BUT meliputi adanya tempat usaha (place of business test) dan tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test).

Selain itu, masih bagian dari kriteria BUT, subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut (right use test), penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen (permanent test), dan melakukan kegiatan usaha secara rutin (business activity test).

Dalil Pemohon PK di atas dibuktikan dengan fakta-fakta yang ditemukan dalam proses pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Termohon PK memiliki kantor tetap dan terdapat manajemen di Indonesia.

Selain itu, kegiatan yang dilakukannya bukan hanya sebagai penunjang dari kegiatan kantor pusat saja, melainkan juga kegiatan utama yang dilakukan selama bertahun-tahun seperti promosi produk. Mengingat Termohon PK merupakan BUT maka Pemerintah Indonesia berhak untuk memungut pajak kepada Termohon PK.

Berdasarkan data PIB dan data di portal pertukaran data antara DJP dan DJBC, diketahui bahwa selama 2012, pihak X Co yang berdomisili di Jepang melakukan ekspor kepada Termohon PK yang berada di Indonesia. Pemohon menilai atas transaksi ekspor yang dilakukan Pihak X Co kepada Termohon PK terutang PPh Pasal 15 final.

Sebagai tambahan informasi, berdasarkan KMK No. 634/KMK.04/1994 dan KEP DJP No. 667/PJ/2001 diatur bahwa penghasilan neto dari wajib pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia ditetapkan 1% dari nilai ekspor bruto. Berdasarkan P3B antara Indonesia dan Jepang, tarif branch profit tax adalah sebesar 10%.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan bahwa pihaknya bukan merupakan BUT dari pihak X Co. Perlu diketahui bahwa Termohon memang terdaftar sebagai perusahaan yang mempunyai nomor kegiatan usaha pokok jasa riset pemasaran dengan status perwakilan. Meski demikian, Termohon tidak ikut serta dalam pengelolaan suatu perusahaan, anak perusahaan, ataupun cabang yang ada di Indonesia.

Termohon hanya melakukan kegiatan yang bersifat penunjang, persiapan, dan sementara. Merujuk Pasal 5 ayat (4) huruf e P3B antara Indonesia dan Jepang, perusahaan yang melakukan kegiatan penunjang dan persiapan dikecualikan dari definisi BUT.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat dua pertimbangan Majelis Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi yang dilakukan Pemohon PK hanya berdasarkan data PIB perusahaan Indonesia dan data pertukaran informasi antara DJP dan DJBC. Pemohon PK tidak melihat fakta yang terungkap dalam persidangan.

Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, kegiatan yang dilakukan Pemohon PK terbukti hanya berupa riset pemasaran dan bukan promosi produk. Tidak tepat apabila Termohon PK dikategorikan sebagai kantor perwakilan dagang asing yang menjadi objek PPh Pasal 15 final. Oleh karena itu, koreksi DPP PPh 15 final senilai Rp812.351.893.069,00 tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Sumber : DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only