Pajak Digital, Perlindungan Konsumen Jadi Instrumen Penting

JAKARTA — Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya. Padahal kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen.

Perlindungan diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi dan merupakan instrumen penting untuk pemerintah siapkan sebelum mengimplementasi pajak digital.

Ia mencontohkan perlunya mengakomodasi karakteristik ekonomi digital, seperti isu-isu terkait transaksi tanpa tatap muka, penggunaan internet, kegiatan reselling, kontrak digital, peran pihak ketiga atau intermediary parties, jumlah dan jenis data yang boleh dikumpulkan penyelenggara, transaksi lintas negara, dan transaksi yang melibatkan produk digital dan layanan elektronik seperti perangkat lunak, musik dan film digital.

Karakteristik tadi, lanjutnya, belum dibahas dalam UU Perlindungan Konsumen. Padahal, para perusahaan jasa ini akan dipungut pajak mulai 1 Juli 2020. “Pajak akan memberikan pemerintah pendapatan negara, yang pada akhirnya harus dibayar konsumen. Contohnya, mulai 1 Juli, pengguna Netflix akan membayar lebih 10 persen, dan jika ini bertujuan untuk menyamakan level playing field sektor bisnis, itu juga harus didukung perlindungan konsumen yang setara antara konsumen offline dan online,” terang Ira.

Kendati Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah dilegalisasi untuk memberikan perlindungan konsumen digital, contohnya aturan terkait iklan digital, peraturan tersebut belum bisa menjamah jasa digital yang berbeda karakteristiknya dengan penjualan barang secara online.

Saat ini, PP No. 80/2019 menyamaratakan barang dan jasa, contohnya terkait penukaran barang dan/atau jasa masih berorientasi barang fisik dari pada jasa. Ira menilai, seharusnya PP ini memisahkan barang dan jasa.

“Baik Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maupun PP Nomor 80 Tahun 2019 belum memisahkan barang dan jasa, padahal mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, UUPK bahkan belum mencakup transaksi online sama sekali. Contohnya terkait kontrak digital, yang merupakan instrumen penting perlindungan konsumen,” jelas Ira.

Sumber: Suaramerdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only