Rincian Target Fiskal Sri Mulyani di RAPBN 2021

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan seluruh target fiskal pemerintah yang tertuang di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Secara keseluruhan, target fiskal tahun depan lebih baik dari tahun ini yang tertekan dampak pandemi virus corona atau covid-19.

Pasalnya, pandemi corona memberi banyak dinamika terhadap proyeksi realisasi berbagai pos fiskal APBN 2020. Misalnya, pengaruh pada perlambatan ekonomi hingga penurunan harga komoditas yang menjadi acuan proyeksi realisasi APBN 2020.

“Dinamika 2020 akan menjadi baseline (daftar) dalam perumusan postur 2021,” ujar Ani, sapaan akrabnya, saat rapat bersama Badan Anggaran DPR, Kamis (18/6).

Dari sisi pendapatan negara, Ani memasang target penerimaan sekitar 9,9 persen sampai 11 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2021. Sementara proyeksi realisasi tahun ini kemungkinan berada di kisaran 10,46 persen dari PDB.

Ia mengatakan target pendapatan negara akan dikejar dengan target penerimaan perpajakan berkisar 8,25 persen sampai 8,63 persen, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 1,6 persen sampai 2,3 persen, dan hibah 0,05 persen sampai 0,07 persen dari PDB pada tahun depan.

Untuk tahun ini, proyeksi realisasi masing-masing pos diperkirakan sebesar 8,69 persen, 1,77 persen, dan 0,003 persen.

Bendahara negara itu mengatakan penerimaan perpajakan akan dilakukan dengan melakukan pungutan atas pajak digital, ekstensifikasi dan pengawasan, serta pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum yang berbasis risiko dan berkeadilan. Kemudian juga dilakukan dengan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, sumber daya manusia, IT, basis data, proses bisnis, serta peraturan pajak.

Kendati begitu, pemerintah akan tetap memberi insentif perpajakan secara selektif dan terukur untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu, juga memberikan pembebasan atau penurunan bea masuk untuk mengakselerasi perekonomian dan investasi.

Lalu dari pos PNBP, pemerintah akan menyempurnakan tata kelola penerimaan, mendorong peningkatan iklim investasi sektor hulu migas dan mendukung harga gas agar lebih kompetitif untuk industri, serta meningkatkan pengelolaan aset lebih produktif.

Selanjutnya, pemerintah juga melakukan optimalisasi penerimaan dari dividen BUMN, meningkatkan kualitas pelayanan kepabeanan, dan meningkatkan kinerja Badan Layanan Umum (BLU).

Dari sisi belanja negara, pemerintah menargetkan belanja mencapai 13,11 persen sampai 15,17 persen dari PDB. Tahun ini, proyeksi realisasi setidaknya mencapai 15,53 persen dari PDB.

Khusus belanja, menurut Ani, persentasenya akan lebih rendah karena kebutuhannya tidak setinggi tahun ini. Sebab, tahun ini, pemerintah melakukan belanja besar untuk penanganan dampak pandemi corona dan memulai program PEN.

“Belanja negara dari sisi persentase terhadap PDB akan sedikit menurun karena kami perlu untuk mulai melakukan konsolidasi fiskal, tapi tidak turun yang cukup drastis,” ujarnya.

Lebih lanjut, belanja negara akan diberikan untuk belanja pemerintah pusat sekitar 8,81 persen sampai 10,22 persen. Tahun ini, proyeksi belanja pusat berkisar 9,48 persen.

“Kami perkirakan masih ada beberapa belanja yang kami perlu pertahankan untuk momentum pemulihan dan menyelesaikan isu fundamental tadi,” ungkapnya.

Kemudian, belanja negara juga akan diberikan ke pos Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sekitar 4,3 persen sampai 4,85 persen. Tahun ini, proyeksi realisasi TKDD berkisar 4,53 persen.

“Tahun ini kami cukup banyak melakukan penurunan transfer akibat penurunan dari penerimaan negara, tahun depan mungkin ada pemulihan secara bertahap,” terangnya.

Dari asumsi pos pendapatan dan belanja tersebut, Ani memperkirakan defisit anggaran sekitar 3,21 persen sampai 4,17 persen dari PDB pada tahun depan. Target itu lebih rendah dari proyeksi tahun ini mencapai 6,34 persen.

“Artinya, tahun depan kita akan mulai melakukan konsolidasi fiskal secara hati-hati tanpa mendisrupsi pemulihan ekonomi. namun defisit diperkirakan di atas 3 persen,” tuturnya.

Keseimbangan primer dipatok sekitar 1,24 persen sampai 2,07 persen dari PDB pada tahun depan. Target tersebut lebih rendah dari proyeksi tahun ini sekitar 3,08 persen dari PDB.

Ia menekankan pemerintah akan berusaha keras untuk menurunkan keseimbangan primer, meski asumsinya membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga tahun ke depan. Kondisi ini, sambungnya, mirip dengan apa yang pernah terjadi di era pemerintahan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Ini sama seperti situasi pada tahun 2004 ke 2005, ketika kami jadi menteri keuangan di bawah Presiden SBY, yaitu konsolidasi fiskal kami tetap mendukung pemulihan ekonomi, dan akan menjadi tema kami dalam dua sampai tiga tahun,” ungkapnya.

Selanjutnya, pembiayaan diperkirakan mencapai 3,21 persen sampai 4,17 persen dari PDB pada tahun depan. Pembiayaan utamanya akan dikejar dengan penerbitan surat utang dengan rasio sekitar 3,31 persen sampai 4,57 persen dari PDB.

Ia mengatakan ada beberapa kebijakan yang akan dilakukan untuk pembiayaan tahun depan. Misalnya, mengembangkan pembiayaan kreatif dan inovatif, mendukung restrukturisasi BUMN, meningkatkan akses pembiayaan, mendorong pendalaman pasar keuangan, hingga mengantisipasi ketidakpastian.

Namun konsekuensinya, hal ini akan membuat rasio utang bengkak ke kisaran 36,67 persen sampai 37,97 persen dari PDB pada 2021. Tahun ini, proyeksinya rasio utang kurang lebih 36,4 persen dari PDB.

Kendati begitu, ia mengklaim pemerintah akan mengelola utang dengan fleksibel namun tetap berhati-hati. Lalu, akan mengupayakan efisiensi biaya utang dan menjaga keseimbangan.

“Kami akan menjaga komposisi portofolio yang optimal untuk menjaga keseimbangan makro,” pungkasnya.

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only