Sia-Sia Mematok Banderol Rokok

Nada suara Suhardjo meninggi diunung sambungan telepon, Rabu (24/6). Dengan suara gamblang, Sekjen Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) tersebut terang-terangan menolak kebijakan rokok murah yang masih diberlakukan pemerintah saat ini.
“Kebijakan rokok murah sangat merugikan kami sebagai pabrikan rokok kecil,” katanya, dengan nada kesal.
Kebijakan rokok murah yang dimaksud tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Beleid tersebut mengaturr mulai dari cukai, harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai, dan harga transaksi pasar (HTP) atau harga akhir di tingkat konsumen.
Meski telah dua kali revisi, yakni PMK 156/2018 dan PMK Nomor 152/2019, beleid tersebut masih memuat ketentuan tentang diskon harga rokok. Dalam PMK terakhir, misalnya, pabrikan rokok boleh mematok HTP 85% dari HJE atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Dengan demikian, konsumen mendapatkan keringanan harga 15% dari tarif yang tertera.
Celakanya, aturan turunan PMK tersebut malah mengizinkan penjualan rokok di bawah 85% dari banderol asal dilakukan tidak lebih dari 50% kantor wilayah pengawasan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang saat ini sudah mencapai 98 kantor di seluruh Indonesia. Ketentuan itu termuat dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea dan Cukai Nomor 25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Di Indonesia sendiri terdapat 514 kabupaten dan kota yang diaasi kantor wilayah bea cukai. Sebagai catatan, satu kantor bea cukai bisa mengawasi lebih dari satu kabupaten/kota. Artinya, rokok murah bisa saja dijual di Kabupaten.kota yang beda dalam pengawasan 49 kantor bea cukai tersebut.
Itulah sebabnya, sekalipun pemerintah awal tahun ini telah menaikkan cukai rokok menjadi 23% dengan HJE yang juga naik 35%, harga rokok di pasaran masih relatif stabil.
“Iya bisa dibilang stabil karena naiknya tidak signifikan,” ujar Suhardjo.
Menurut dia, kebijakan diskon rokok memberi celah pabrikan besar untuk saling banting harga, sehingga tepat terjangkau konsumen. Mereka juga tidak akan merugi karena skala produksinya sudah sangat besar dengan teknologi yang sudah canggih.
Lantaran jual murah, selisih harganya dengan rokok buatan industri kecil semakin tipis. “Sudah pasti konsumen pilih mereka yang punya brand besar,” cetusnya.
Formasi sendiri telah menyamaikan kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan rokok murah. Sebab, bila kebijakan diskon rokok itu terus berlanjut, banyak anggota Formasi bakal gulung tikar.
“Kami minta pemerintah konsisten menerapkan HJE 100% tanpa ada diskon, karena kebijakan ini membuat persaingan semakin tidak sehat,” ujar Suhardjo.
Namun, penyataan Suhardjo ini disangkal pabrikan rokok besar yang tergabung dalam Gabungan Peerserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Henry Najoan, Ketua Gappri, membatah adanya potongan harga atau diskon di lapangan.
Menurut dia, Kebijakan yang membolehkan HTP 85% dari HJE bertujuan untuk memberi ruang gerak produsen. “Jadi itu bukan diskon,” katanya.
Kebijakan itu didasari pada pertimbangan bahwa ada rantai proses distribusi dari produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah banderol HJE. “Dalam kondisi sulit akibat pandemi, jangan kami diganggu dengan isu yang kurang tepat,” cetus Henry.
Tapi apa pun dalihnya, dari pantauan di lapangan, memang banyak pedagang tidak menjual rokok sesuai dengan harga yang tertera dikemasan. Kebanyakan mereka mengaku menjual harga rokok dibawah benderol berdasaran harga agen.
Di sebuah toko di Depok, Jawa Barat, harga sebungkus rokok yang seharusnya dibanderol Rp 35.800 hanya dijual Rp 28.000. Sementara di Jakarta Pusat, ada rokok yang harga banderolnya Rp 29.725 dijual Rp 23.500 perbungkus.
Memang ada kenaikan harga dibanding dengan akhir tahun lalu masih banderol lama. Tapi, kenaikannya hanya sekisar Rp 2.000 perbungkus. Jauh di bawah prediksi awal yang diperkirakan bisa tembus di atas Rp 30.000 perbungkus.
“iya, kita kan enggak bisaa ngambil untung terlalu besarjuga. Dapatnya murah ya, kita jual murah,” ujar Krisman, seorang pedagang rokok yang ditemui KONTAN.
Selain pabrikan rokok kecil, kebijakan rokok murah juga menyulut protes para orang tua. Terutama mereka yang memiliki anak usia remaja. Seperti halnya Nuriandini, saah seorag ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat.
Belakangan, ia direpotkan dengan kebiasaan merokok putra sulungnya yang masih duduk dibangku kelas 3 SMP. “Itu beberapa kali ketahuan sama saya, tapi nggak kapok-kapok juga dikasih tahu,” ujarnya.
Menurut dia, seperti sia-sia melarang anaknya merokok karena zat adiktif tersebut bebas dibeli dengan harga murah. Belum lagi, banyak warung pinggir jalan hingga pedagang asongan yang melayani penjual rokok ketengan atau batangan yang harganya sangat terjangkau kantong pelajar.
Keluhan Nuriandani ini bisa jadi mewakili suara banyak orangtua akan bahaya rokok terhadap masa depan anaknya. Kekhawatiran itu tidak berlabihan.
Hasil survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 melaporkan bahwa sebanyak 40,6% pelajar di Indonesia atau dua dar tiga anak laki-laki berusia 13 tahun – 15 tahun pernah menyesap produk tembakau. Data GYTS juga menunjukkan bahwa 19,2% pelajar saat ini merokok dan 60,6% tidak dicegah saat membeli rokok.
Bahkan, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Tahun 2018, prevalensi perokok anak-anak mencapai 9,1% atau setara 7,8 juta anak. Angka itu naik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya 7,2%. Padahal, Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan prevalensi perokok anak harus turun menjadi 5,4% pada tahun 2019.
Adapun menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 85 juta pada 2018. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah tersebut bisa melonjak menjadi 98 juta orang atau 45% dari populasi pada 2025. Fakta itu menunjukkan tingkat prevalensi merokok di Indonesia makin sulit diturunkan.
“Kebijakan rokok murah menjadi salah satu penyebab mengapa perokok anak di Indonesia terus meningkat,” ujar Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (YLA).
Pemerintah memang menunjukkan anomalisnya dalam kebijakan pengaturan cukai rokok. Di satu sisi Pemerintah mengerek tarif cukai tinggi sejak awal tahun ini, tapi di sisi lain masih memberlakukan kebijakan diskon rokok.
Berdasarkan PMK No. 152 Tahun 2019, rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2020 sebesar 23% dan HJE sebesar 35%. Yakni, tarif CHT sigaret kretek mesin (SKM) naik sebesar 23,29%. Lalu sigaret putih mesin (SPM) naik 29,95% dan sigaret kretek tangan (SKT) atau sigaret putih tangan naik 12,84%.
Ambil contoh dengan cukai dan HJE yang baru, maka harga jual rokok kategori SPM paling malah di tingkat konsumen saat ini harusnya di kisaran Rp 35.800. Namun, dengan adanya kebijakan diskon rokok, harga di tingkat konsumen jauh dibawah itu.
Alhasil, keberadaan rokok murah menggerogoti target penurunan prevalensi merokok yang dipercaya memicu berbagai penyakit lain. Padahal, tujuan utama kenaikan cukai rokok adalah pengendalian agar konsumsi rokokdi masyarakat tidak terlalu tinggi, termasuk di kelompok remaja anak-anak.
Nah jika target pengendalian ini tidak tercapai, otomatis upaya pemerintah menjaga kesehatan masyarakat dari papamaran asap rokok akan sia-sia. Terlebih di masa pandemi ini, kebiasaan kebal kebul masyarakat membuat tingkat kerentanan terpapar Covid-19 menjadi lebih tinggi.
Padahal, di masa pandemi, pemerintah kerap gembur-gembor berfokus kepada aspek kesehatan dan keselamatan masyarakat. “Jelas kebijakan rokok murah sangat bertentangan denga upaya menekan pandemi Covid-19,” ujar peneliti kebijkan publik Emerson Yuntho.
Rokok murah juga kian menguatkan stigma negatif ada kompromi pemerintah dengan industri hasil tembakau, Pasalnya, perusahaan rokok akan selalu mencari celah kebijakan agar harga rokoknya lebih murah.
Selain menggerogoti kesehatan masyarakat, kebijakan rokok murah juga menggerus penerimaan negara, Pasalnya kebijakan rokok murah, di mana harga jual rokok menjadi rendah, jelas berdampak pada pajak penghasilan (PPh) badan yang juga rendah.
Berdasarkan riset yang telah dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 mencapai RP2,6 triliun. Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE.

“Kebijakan diskon rokok menyebabkan omset pabrikan rokok berkurang sehingga PPh badan yang disetorkan ke negara menjadi tidak optimal,” ujar Direktur Eksekutif Indef, Ahmad Tauhid.
Padahal, pemerintah kini tengah mati-matian meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya buat penanganan dampak pandemi. Jika saja penerimaan cukai dan PPh rokok dioptimalkan, tentu kontribusinya terhadap penerimaan negara sangat besar.
“Ini harus jadi perimbangan untuk mencabut aturan diskon rokok sekaligus optimalisasi penerimaan negara,” ujarnya.
Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengatakan, pemerintah tetap terbuka terhadap setiap masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152 Tahun 2019 maupun Perdirjen 37/2017.
“Semua masukan akan ditinjau apakah masih tepat di lapangan atau masih memerlkan penyesuaian,” ujarnya.
Namun, ia mengklaim, kebijakan yang memperbolehkan HTP 85% dari HJE tidak terpengaruh terhadap penerimaan cukai rokok.
Tebukti, realisasi cukai hasil tembakau atau cukai rokok per akhir Mei 2020 mencapai Rp 64,65 triliun atau tumbuh 20,48% secara tahunan. Angka itu setara 34% dari target APBN 2020.
Kendati demikian, pertumbuhan penerimaan cukai itu melambat dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Per akhir Mei 2019, realisasi penerimaan cukai hasil tebakau mencapa Rp 53,66 Triliun atau tumbuh 60,17% year on year (yoy). Sementara pada bulan lalu, pertumbuhannya Cuma mencapai 20,48% yoy.
Sunaryo Kartodiwiryo, Kepala sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga dasar DJBC, berdalih, kebijakan pengaturan cukai dan harga rokok saat ini jauh lebih baik ketimbang di masa lalu, Ia mencontohkan, pada tahun 2005 hingga 2007 marah produsen rokok yang menjual produk rokoknya 50% di bawah HJE.
Pemerintah kemudian mengaturnya dengan memberlakukan HTP. “Beberapa kali HTP bisa lebih tinggi dibandingkan HJE. Dan ssaai ini mengingat daya beli ketika pandemi serta melindungi konsumen, maka kebijakan 85% dari HJE paling masuk akal,” ujarnya.
Ia pun menegaskan, beberapa pun produsen rokok menjual produknya tetap saja penerimaan negara tidak terganggu karena dasar penentuan HJE berasal dari harga pokok penjualan (HPP) ditambah Cukai, dan pajak rokok. “Jadi tidak akan mengganggu pendapatan negara. HTP dan HJE itu sekadar tools untuk administered price saja,” ujarnya.
Namun, di mata Tauhid, kebijakan tetap berdampak pada penerimaan negara. Yakni, tergerusnya potensi penerimaan PPh badan akibat turunnya omzet perusahaan rokok yang menjual murah produk rokoknya di tingkat konsumen.
Sementara, kalau dari segi penerimaan cukai memang di pastikan cukai memang dipastikan bertumbuh, karena memang tarifnya sudah dinaikkan oleh pemerintah. “Itu yang harus dicermati oleh pemerintah,” ujarnya.
Sumber : Tabloid Kontan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only