Pandemi corona memorak-porandakan perekonomian dunia. Kebijakan pembatasan aktivitas maupun lockdown yang diambil beberapa negara membuat ekonomi tak bergerak. International Monetary Fund (IMF) bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global minus 4,9 persen pada 2020. Proyeksi ini lebih rendah 1,9 poin persen di bawah perkiraan World Economic Outlook (WEO) di April 2020 lalu, yaitu minus 3 persen.
Negara besar seperti Amerika Serikat juga keteteran menghadapi pandemi corona ini. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS) menunjukkan tingkat pengangguran negara tersebut meroket ke 14,7 persen. Amerika Serikat mencatatkan rekor 20,5 juta orang Amerika kehilangan pekerjaan pada April 2020.
Selain itu, ekonomi China juga diprediksi tidak akan tumbuh di 2020 pasca mengalami kehancuran akibat pandemi virus corona. Ke depannya, China diramal masih harus melalui jurang terjal karena ketidakpastian ekonomi global terbuka lebar. Ekonom dari pemerintah China menyebut bahwa dalam skenario terburuk, ekonomi negeri tirai bambu tersebut mungkin tidak tumbuh sama sekali. Hal ini sesuai dengan prediksi Bank dunia yang memprediksi kinerja ekonomi China di tahun ini menjadi yang terlemah selama 44 tahun terakhir, bahkan lebih buruk dari resesi global di tahun 2008
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, kondisi perekonomian dunia sudah resesi dan mulai masuk pada potensi depresi karena pandemi Covid-19. Pandemi tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga sosial.
“Pandemi ini telah mengubah cara hidup kita dan berimplikasi signifikan pada kondisi ekonomi dan sosial. Ekonomi mulai masuk pada resesi, bahkan ada potensi depresi,” kata Sri Mulyani Indrawati dikutip ari Antara di Jakarta, Rabu (2/7).
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi juga diprediksi bakal merosot dalam. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 berada di minus 3,1 persen. Menurutnya, angka ini sudah masuk dalam zona negatif, mengingat pada periode Mei-Juni roda perekonomian masih lumpuh akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkoreksi hingga mencapai negatif atau minus 6 persen di kuartal II 2020. Hal tersebut salah satunya dipicu oleh progres stimulus penanganan Virus Corona yang masih sangat lambat.
“Kami di Kadin berpendapat bahwasanya akan terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi antara negatif 4 persen sampai negatif 6 persen di kuartal II, 2020,” ujarnya.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Adi Budiarso memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 diproyeksikan minus (-) 0,4 persen sampai dengan 1 persen.
Anggaran dan Stimulus Penangangan Corona
Pemerintah Jokowi tak tinggal diam melihat data merosotnya perekonomian ini. Berbagai stimulus kebijakan dikeluarkan dan anggaran penanganan pandemi juga bernilai fantastis. Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diperkirakan akan memerlukan pembiayaan sebesar Rp905,10 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sudah beberapa kali menaikkan anggaran penanganan covid-19 ini. Anggaran naik menjadi Rp695,2 triliun dari sebelumnya Rp677,2 triliun. Angka tersebut bertambah setelah pemerintah menambah anggaran untuk pembiayaan korporasi menjadi Rp53,57 triliun dan kepada pemerintah daerah serta kementerian dan lembaga sebesar Rp106,11 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, penambahan anggaran untuk pemerintah daerah, kementerian dan lembaga sebesar Rp106,11 triliun untuk memberikan dukungan dalam melakukan kegiatan yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Kami juga fokuskan ke pemerintah daerah serta kementerian dan lembaga untuk bisa melakukan kegiatan yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Dengan memberikan alokasi anggaran Rp106,11 triliun,” ujar Sri Mulyani.
Tak hanya penambahan anggaran, pemerintah juga menelurkan beberapa kebijakan memudahkan pengusaha di Tanah Air menghadapi pandemi. Salah satunya yaitu restrukturisasi atau keringanan cicilan kredit.
Kepala Departemen Komunikasi, Bank Indonesia, Onny Widjanarko mengatakan bahwa perbankan tengah fokus ke pelaksanaan program restrukturisasi kredit UMKM korporasi, dan komersial. “Harapannya, kalau ini sudah betul, restrukturisasi sudah berhasil, likuiditasnya terus BI buka warung, sektor riil pulih kembali,” kata dia.
Dalam pandangan dia, pulihnya sektor rill ini akan meningkatkan permintaan. Otomatis konsumsi, investasi dan kegiatan ekspor-impor meningkat juga.
PEN dan pemenuhan likuiditas yang tersedia di pasar diharapkan spending dan siklus ekonomi kembali berjalan. Sedikit banyak, kata Onny hal ini tergantung durasi pandemi yang berlangsung. “Kita harap ini sudah mendekati ujungnya, kalau ini sudah diujungnya,,” ungkap dia.
Sehingga usai pandemi berakhir akan terjadi pola kurva V. Jika semua terjadi sesuai perkiraan, maka akan tercipta kembali lapangan pekerjaan. Sebab, sebagaimana diketahui, pandemi ini berdampak pada PHK bagi karyawan di sejumlah daerah. “Jadi dari likuiditas, ke sektor perbankan dan akhirnya ke sektor riil,” kata Onny.
Dalam restrukturisasi kredit ini, pemerintah juga menggelontorkan dana Rp30 triliun ke perbankan Himbara (BNI, BTN, Mandiri dan BRI). Dana ini untuk menambah likuiditas perbankan dan penyaluran kredit lebih luas.
Penyaluran Stimulus Terkendala
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, memprediksi 40 persen pekerja Indonesia bakal terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai dampak pandemi Virus Corona. Potensi PHK tersebut terlihat di seluruh sektor lapangan usaha.
“Dengan pandemi ini situasinya semakin tidak baik untuk semuanya. Apindo memperkirakan antara 30 sampai 40 persen itu akan terjadi PHK. Dan kami juga sudah melihat melakukan crossing ke semua sektor ini agak mengkhawatirkan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (17/6).
Menangkal dampak pandemi lebih luas, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang meminta agar pemerintah memperluas stimulus bagi sektor dunia usaha. Mengingat stimulus yang diberikan pemerintah saat ini belum mampu mengatasi persoalan di masing-masing sektor usaha.
“Dunia usaha membutuhkan stimulus yang lebih luas yang mampu menjawab tantangan masing masing sektor usaha sehingga dapat meminimalisir terjadinya PHK,” kata dia.
Sarman menyebut masing masing sektor usaha memiliki permasalahan dan tantangan yang berbeda-beda pada kondisi seperti ini. Misalnya saja untuk restrukturisasi pinjaman yang hanya Rp10 miliar ke bawah bisa diperluas, namun yang punya kredit di atas Rp10 miliar bagaimana nasibnya.
Kemudian untuk sektor pajak. Pengusaha ingin pajak daerah seperti pajak hiburan, hotel dan restoran juga mendapat keringanan dan kompensasi dari pemerintah daerah akibat dari penutupan tempat hiburan dan sepinya pengunjung hotel dan restoran. Termasuk juga Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) khusus mobil yang dipergunakan untuk sarana transportasi umum taxi maupun online.
“Para UKM Pedagang Pasar mereka perlu keringanan retribusi pasar yang merupakan kewajiban untuk dibayarkan setiap bulan kepada pengelola pasar akibat dari berkurangnya pemasukan mereka,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengeluhkan pelaksanaan restrukturisasi kredit di lapangan juga masih banyak terkendala. Selain itu, masalah modal kerja yang dialokasikan pemerintah di bank himbara tidak menyentuh seluruh golongan.
Anggaran Rp30 triliun saat ini diprioritaskan untuk sektor UMKM. “Yang kami tanyakan Rp30 triliun yang dieksekusi pemerintah itu untuk UMKM. Padahal korporasi selain UMKM yang diperlukan juga cukup besar,” kata dia.
Stimulus Berjalan Lambat
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani menilai pemberian stimulus ekonomi bagi dunia usaha berjalan lambat. Padahal, stimulus ekonomi sangat dibutuhkan para pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19.
“Kita lihat agak lambat dalam implementasinya dan kami mencoba mencari masukan dan kita akan tindaklanjuti,” kata Roslan usai memenuhi undangan OJK di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (2/7).
Dalam rapat tersebut, penjelasan yang diberikan Ketua OJK Wimboh Santoso sesuai dengan prediksinya. Dunia usaha mengalami tekanan yang besar dan 50 persen di antaranya mengajukan restrukturisasi.
“Kita lihat yang minta restrukturisasi sudah 50 persen, sudah Rp500 triliun yang minta restrukturisasi,” kata dia.
Roslan menjelaskan total permohonan restrukturisasi ke perbankan sudah berada di level Rp1.350 triliun. Sebanyak 50 persen atau sekitar Rp650 triliun dari jumlah tersebut sudah diberikan restrukturisasi.
Lambatnya implementasi stimulus ekonomi bisa menyebabkan peningkatan loan mencapai 40-45 persen dari yang ada saat ini pada akhir tahun.
“Kalau tidak ada langkah-langkah konkret bisa berkembang sampai di level 40 sampai 45 persen.” kata dia.
Selain itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan juga mengeluhkan progres stimulus penanganan Virus Corona yang masih sangat lambat.
Penyerapan anggaran diberbagai bidang antara lain kesehatan baru 1,54 persen, perlindungan sosial 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, korporasi 0 persen dan sektoral pada 3,65 persen. Ini akan membuat tekanan terhadap pemulihan kesehatan, jejaring pengamanan sosial dan perekonomian menjadi lebih berat.
“Lemahnya implementasi stimulus tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III kembali kontraksi di level pertumbuhan negatif sehingga secara teknikal Indonesia masuk dalam fase resesi ekonomi,” jelasnya.
Konsumsi Masyarakat Lemah
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengakui bahwa saat ini dunia usaha tengah mengalami masalah krusial. Yakni menumbuhkan permintaan. Hal ini penting karena berapapun stimulus yang diberikan akan percuma jika tidak ada permintaan akibat tidak ada kegiatan ekonomi.
“Berapa pun stimulus yang diberikan, kalau masyarakat tidak bergerak maka situasinya menjadi lebih sulit,” kata Hariyadi di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (2/7).
Hariyadi mengatakan sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meluncurkan aplikasi peduli lindungi. Aplikasi ini sangat penting untuk menjaga kontrol terhadap penularan virus corona. Sehingga orang yang sakit bisa disembuhkan dan orang yang sehat tetap bisa beraktivitas.
“Padahal ini berguna, tapi tracingnya kurang baik hingga masyarakat tidak tahu. Ini penting, masyarakat perlu tahu,” kata dia.
Hariyadi menambahkan pelaksanaan restrukturisasi kredit di lapangan juga masih banyak terkendala. Selain itu, masalah modal kerja yang dialokasikan pemerintah di bank himbara tidak menyentuh seluruh golongan. Anggaran Rp30 triliun saat ini diprioritaskan untuk sektor UMKM.
“Yang kami tanyakan Rp30 triliun yang dieksekusi pemerintah itu untuk UMKM. Padahal korporasi selain UMKM yang diperlukan juga cukup besar,” kata dia.
Sumber : Merdeka.com
Leave a Reply