Waspada! Tsunami Utang Bakal Landa Dunia Pasca Covid-19

JAKARTA — Wabah virus corona (COVID-19) telah menginfeksi banyak orang di seluruh dunia. ready viewed Di mana per Senin (13/7/2020), sudah ada lebih dari 13 juta jiwa yang dinyatakan positif terinfeksi virus asal Wuhan, China itu secara global.

Namun, dampak buruk dari virus ini bukan hanya menyerang kesehatan orang-orang, tapi juga ekonomi dunia. Sebagaimana diketahui, wabah ini telah memaksa berbagai negara untuk melakukan penguncian (lockdown) besar-besaran untuk menekan penyebarannya.

Sayangnya, langkah penguncian itu berdampak buruk pada kegiatan ekonomi. Di mana dampaknya memaksa berbagai pemerintahan negara untuk mengeluarkan banyak stimulus dan menambah utang demi meredam dampak buruk dari kegiatan ekonomi yang tersendat.

Hal ini pun secara langsung membawa dampak yang signifikan pada keuangan dunia, di mana angka utang, baik di negara maju maupun berkembang, terancam meningkat pesat. Parahnya, jika tidak ditangani dengan benar, maka hal ini akan menimbulkan bencana baru dalam perekonomian yaitu munculnya “tsunami hutang”.

Menurut Bloomberg, di masa pandemi ada banyak negara yang telah menambah utangnya dalam jumlah besar termasuk negara-negara Eropa hingga Amerika Serikat (AS). Dana pinjaman itu digunakan untuk mendukung bisnis dan perusahaan yang terdampak pandemi secara parah, juga untuk memberikan kompensasi kepada para pengangguran yang banyak bermunculan sejak COVID-19 melanda.

Padahal sebelum corona menyerang, pemerintah di negara maju juga telah banyak yang mencatatkan peningkatan utang selama dekade setelah krisis keuangan global. Di mana salah satunya adalah AS. Utang negara yang dipimpin Presiden Donald Trump ini telah naik dari 40% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2007, menjadi 89% dari PDB pada 2019.

Sementara utang Inggris telah naik dari 44% dari PDB menjadi 111% dari PDB-nya pada periode yang sama, dan utang Prancis juga tidak kalah banyaknya, yaitu naik dari dari 81% dari PDB menjadi 134% dari PDB, menurut OECD.

Untuk mencegah terjadinya “tsunami utang” pasca pandemi, Yuwa Hedrick-Wong, Kepala Komentator Ekonomi untuk Forbes Asia menyarankan agar pemerintah berbagai negara mengambil kebijakan yang hati-hati.

“Dalam kondisi seperti itu, kebijakan konvensional untuk pengurangan utang tidak hanya sia-sia, tetapi juga kontraproduktif. Menaikkan pajak, baik perusahaan, pribadi atau keduanya, akan memperburuk efek kuncian besar pada investasi perusahaan dan pengeluaran konsumen.” katanya dalam tulisannya yang dimuat Bloomberg, Senin.

“Sebaliknya, menguangkan utang pemerintah melalui pembelian bank sentral kemungkinan akan memicu serangan inflasi baru, karena sisi penawaran telah dirusak oleh penutupan besar-besaran. Jika pemerintah merenungkan penghematan sebagai gantinya, risikonya adalah deflasi seperti yang ditunjukkan di Eropa selatan selama krisis zona euro.”

Lebih lanjut, dalam tulisannya itu Hedrick-Wong menyebut ada satu cara yang bisa ditempuh untuk menghindari konsekuensi dari hutang tsunami di masa depan, yaitu dengan belajar dari masa lalu.

“Ini diilustrasikan oleh bagaimana AS menurunkan utang pemerintahnya dari puncak tahun 1945 itu. Pada dekade-dekade berikutnya, pemerintah AS tidak benar-benar mencoba membayar utangnya. Sebaliknya, melalui kombinasi pertumbuhan yang solid, inflasi moderat, dan suku bunga rendah, rasio utang terhadap PDB terus turun.

“Pada pertengahan 1970-an, rasio utang pemerintah terhadap PDB turun menjadi sekitar 20%, tingkat yang nyaman yang tidak membahayakan ekonomi. Untuk pemerintah yang memiliki banyak utang hari ini, ini adalah pilihan terbaik untuk menghindari tsunami utang.” katanya menjelaskan.

Sementara itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inflasi moderat dan suku bunga rendah setelah COVID-19, ia mengatakan bahwa dunia akan membutuhkan pemulihan dalam perdagangan dan investasi global.

“Meningkatkan perdagangan global akan meningkatkan permintaan sambil merangsang investasi baru dalam ekonomi global. Dengan kata lain, memulai kembali dan globalisasi turbocharging (bertenaga penuh) adalah cara terbaik ke depan, tidak hanya untuk ekonomi maju yang banyak memiliki utang, tetapi juga pasar negara berkembang.” Jelasnya.

“Akan tetapi, melakukan hal itu akan memerlukan pembalikan deglobalisasi yang sedang berlangsung sebelum COVID-19. Kita akan membutuhkan kepemimpinan global yang efektif yang mempromosikan kepentingan pribadi yang tercerahkan. Baik saat kita membangkitkan kembali globalisasi atau menghadapi risiko tersapu oleh tsunami utang yang akan datang.” paparnya.

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only