JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan pesan kepada menteri dan kepala lembaga untuk tidak memberikan informasi yang menyesatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pasalnya, butuh kerja sama yang solid antar kementerian/lembaga untuk membangkitkan perekonomian di tengah pandemi virus corona.
“Jangan beri Presiden (Jokowi) informasi yang menyesatkan, yang bukan memberikan solusi tapi menimbulkan masalah atau kegaduhan baru,” ungkap Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam video conference, Senin (20/7).
menyatakan agar kepala lembaga dan menteri tidak mengedepankan ego sektoral. Sebab, masalah yang dihadapi negara ini terlalu besar untuk ditangani hanya dengan satu atau dua kementerian/lembaga.
“Harus bangun kepercayaan, kebersamaan, dan semangat gotong royong,” jelas Agung.
Diketahui, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019.
Kemudian, ada 87 LKKL dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN) yang telah diaudit oleh BPK. Lalu, BPK memberikan WTP terhadap 84 LKKL dan 1 LK BUN serta tidak menyatakan pendapat atau disclaimer pada 1 LKKL.
Lembaga itu juga memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hasil LKKL 2019.
BSSN mendapat predikat WDP pertama kalinya sejak 2016 lalu. Biasanya, BSSN selalu didapuk dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sementara, khusus KPU, BPK mendapuk WDP berkali-kali pada 2016, 2017, dan kembali WDP pada 2019. Artinya, hanya pada 2018, KPU mendapat predikat WTP.
Sementara, BPK mengidentifikasi sejumlah masalah baik pada sistem pengendalian internal maupun kepatuhan terhadap sistem perundang-undangan yang harus ditindak lanjuti. Berikut masalah yang dimaksud oleh BPK:
- Kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Perpajakan.
- Kewajiban pemerintah selaku pemegang saham pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) belum diukur atau diestimasi.
- Pengendalian atas pencatatan aset kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia belum memadai.
- Pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP tahun 2019 sebesar Rp2.876,76 triliun belum didukung standar akuntansi.
- Penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja yang akan diberikan kepada masyarakat sebesar Rp44,2 triliun pada 34 kementerian/lembaga tidak seragam serta terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang tidak sesuai dengan ketentuan.
- Penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit pada tahun 2019 pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD PKS) Kementerian Keuangan belum sepenuhnya dapat menjamin penggunaannya sesuai dengan tujuan yang ditetapkan karena aktivitas perkebunan dan penerima belum sepenuhnya valid, serta adanya dana peremajaan perkebunan kelapa sawit yang belum di pertanggungjawabkan.
- Skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah proyek strategis nasional pada pos pembiayaan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dan investasi tanah proyek strategis nasional untuk kepentingan umum tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2019 Tentang Investasi Pemerintah.
- Ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program kegiatan dan tahun penganggaran atas kompensasi bahan bakar minyak dan listrik.
- Adanya kelemahan dalam penatausahaan dan pencatatan Kas Setara Kas persediaan Aset Tetap dan Aset Tak Berwujud dalam kementerian dan lembaga.
Masalah yang teridentifikasi adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana yang bersumber dari APBN, saldo kas yang tidak sesuai dari fisik, sisa kas terlambat atau belum disetor dengan penggunaan kas yang tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban pada 34 kementerian lembaga.
Kemudian, terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 kementerian/lembaga, dan pengelolaan aset tetap pada 77 kementerian/lembaga yang belum memadai dampak adanya saldo BMN yang tidak akurat.
- Terdapat surat tagihan pajak terhadap kekurangan store yang belum diterbitkan oleh dirjen pajak dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi.
- Pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan atau dipungut PPN dan PPh pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis.
Selain itu, terdapat potensi kekurangan penetapan penerimaan negara dari pendapatan biaya masuk atau bea masuk anti-dumping dan pajak dalam negeri pada dirjen bea cukai.
- Terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (SKPKPP) namun tidak segera di proses pembayarannya terindikasi belum diterbitkan SKPKPP serta keterlambatan penerbitan SKPKPP pada Ditjen Pajak.
- Adanya pengelolaan PNBP dan piutang serta penganggaran pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja yang belum sesuai ketentuan pada sejumlah kementerian negara atau lembaga.
Sumber: CNNIndonesia.com
Leave a Reply