Pemerintah Dorong Konsensus Pajak Digital Global Rampung Tahun Ini

Pemerintah mendorong Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menghasilkan kesepakatan atau konsensus mengenai pajak digital secara global.

Pemerintah ingin tahun ini konsensus bisa disepakati agar dapat menarik Pajak Penghasilan (PPh) dari perusahaan teknologi global seperti Netflix, Amazon, hingga Google.

“Kami memang ingin dorong konsensus terkait pajak digital, karena kami melihat manfaat besar ketika OECD menelurkan kesepakatan ini,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama, dalam video conference, Kamis (23/7).

Pemerintah saat ini masih memiliki perjanjian pajak atau tax treaty dengan 60 negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Sesuai perjanjian tersebut, subjek pajak luar negeri yang dapat dipungut PPh hanya perusahaan yang memiliki kehadiran fisik.

Alhasil, pemerintah belum bisa menarik PPh dari Netflix hingga Google meski sudah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020, yang memuat pengenaan PPh pada perusahaan digital.

Dalam Perppu tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Covid-19 itu, pemerintah mengatur pengenaan PPh terhadap Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). SLPN yang dianggap memiliki significant economic presence akan dikenakan PPh.

Significant economic presence yang dimaksud dapat berupa jumlah penjualan di Indonesia, omzet konsolidasi grup, hingga jumlah pengguna aktif media digital. Bila tidak dapat dikenakan PPh, pemerintah akan mengenakan pajak transaksi elektronik kepada SPLN, yang diatur menggunakan Peraturan Pemerintah (PP).

Layanan perusahaan digital asing di Indonesia tercatat makin masif digunakan. Sebagai gambaran, pengguna layanan streaming film asal AS, Netflix di Indonesia tercatat semakin meningkat.

Berdasarkan data Nakono.com Pada 2017, total pelanggan streaming Netflix Indonesia mencapai 95.000 orang. Pada 2018, pelanggan Netflix Indonesia tumbuh 2,5 kali lipat menjadi 237.300 pelanggan. Jumlahnya diperkirakan meningkat pada 2019 sebanyak 482.000 pelanggan, dan pada 2020 diproyeksi mencapai 907.000 pelanggan.

Grafik:

Di sisi lain, konsolidasi secara global menemui kendala karena Amerika Serikat (AS) dikabarkan menarik diri, dan meminta agar konsensus diundur hingga 2021. Padahal, Indonesia mengharapkan agar konsensus itu bisa rampung tahun ini.

“Tapi kami tetap berharap AS masuk kembali melanjutkan diskusi secara positif, agar ada solusi baik secara global,” ujarnya.

Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation (CITA) Ruben Hutabarat berpendapat, pemerintah bisa saja berharap konsensus disepakati tahun ini, namun tetap harus menyiapkan strategi untuk skenario terburuk.

Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan solusi apabila konsensus terkait pajak digital tidak disepakati antara negara-negara anggota OECD. Sebab, pemerintah sudah terlanjur mengeluarkan aturan terkait pajak digital.

“Jika penarikan PPh tidak diterapkan, menurut kami hal tersebut akan mendelegitimasi aturan mengenai pajak digital yang sudah dibuat,” ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah AS melakukan investigasi pajak digital terkait kekhawatiran diskriminasi atas perusahaan asal negaranya. Salah satu negara yang diinvestigasi, yakni Indonesia.

Penyelidikan itu dilakukan karena semakin banyak negara mempertimbangkan pengenaan pajak pada layanan digital, yang oleh AS ditentang. Alasannya, perusahaan digital harus dikenakan pajak berdasarkan tempat penjualan atau kegiatannya, bukan di mana kantor pusatnya berada.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only