Pengamat: Kelas Menengah Juga Perlu Stimulus Tunai

Jakarta — Untuk mendorong konsumsi masyarakat yang masih melemah akibat pandemi Covid-19, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal sepakat bahwa program jaring pengaman sosial perlu diperluas kepada kelompok menengah. Namun bantuannya tidak dalam bentuk sembako, melainkan berbentuk uang cash atau tunai agar bisa lebih menggerakkan perekonomian.

Mengutip data World Bank, Fithra mengatakan ada sekitar 120 juta masyarakat yang disebut aspiring middle class atau baru keluar dari garis kemiskinan dan tengah merangkak menjadi kelas menengah, namun kembali terhantam pandemi Covid-19.

“Kelas menengah ini memang menjadi salah satu fokus dari pengembangan atau perluasan jaring pengaman sosial. Itu yang harus dilakukan, dan bentuknya bukan sembako tetapi cash,” kata Fithra Faisal kepada Beritasatu.com, Minggu (26/7/2020).

Kelas menengah ini juga banyak yang masuk di sektor UMKM yang membutuhkan kredit modal kerja. Bantuan inilah yang menurutnya harus dioptimalkan, sebab program kredit modal kerja untuk UMKM untuk memulihkan ekonomi nasional belum optimal dijalankan. Begitu juga untuk korporasi atau kelompok menengah ke atas.

“Kredit modal kerja baru ini sebetulnya merupakan terobosan, tetapi di lapangan tidak semudah itu juga. Kalau kita lihat, sektor keuangan atau perbankan enggan untuk menyalurkan dananya ke UMKM karena faktor risiko yang meningkat,” kata Fithra.

Total anggaran Rp 695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menurut Fithra juga masih minim, sehingga perlu ditingkatkan hingga mencapai Rp 1.200 triliun.

“Dari sisi besaran, sebenarnya belum cukup. Seharusnya hitung-hitungan saya sekitar Rp 1.200 triliun untuk kebutuhan perluasan jaring pengaman sosial, kredit modal kerja dan juga untuk korporasi. Tetapi dari sisi kecepatan juga harus lebih cepat lagi untuk mengejar momentumnya. Saat ini beberapa indikator sudah memperlihatkan perbaikan. Momentum ini harus didukung dengan percepatan penyaluran berbagai stimulus,” kata Fithra.

Terkait program pemerintah untuk membantu kelas menengah melalui relaksasi Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) Ditanggung Pemerintah (DTP), menurut Fithra upaya ini tidak akan efektif untuk mendorong konsumsi karena jumlahnya yang terbatas.

“Pembebasan PPh21 ini sebetulnya tidak akan terasa juga bagi pekerja, mereka kan kebanyakan juga dibayarkan perusahaan. Jadi tidak akan terlalu signifikan untuk meningkatkan konsumsi dan mendongkrak perekonomian,” ujarnya.

Fithra menambahkan, bantuan untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa saja diberikan, seperti yang dilakukan di beberapa negara dalam bentuk uang tunai. Namun bantuan ini tidak akan bisa dipenuhi apabila anggaran yang disiapkan hanya Rp 695,2 triliun.

“Ini bisa saja dilakukan, tetapi tidak bisa dengan besaran anggaran yang sekarang. Kalau memang mau, harus ditingkatkan sampai Rp 12.000 triliun. Tetapi terus terang, kita tidak punya kemewahan itu. Apalagi dari sisi fiskal kita cukup terbatas,” kata Fithra.

Sementara itu menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, salah satu program yang disiapkan pemerintah untuk membantu mayarakat kelas menengah adalah stimulus fiskal berupa relaksasi PPh21 DTP. Tetapi memang implementsi PPh21 DTP sejauh ini masih menghadapi kendala, mulai dari masalah teknis, administrasi, hingga masalah pendataan. Proses ini menurutnya akan segera disederhanakan, sehingga anggaran yang disediakan sekitar Rp 25 triliun harapannya bisa sampai ke kantong masyarakat.

“Untuk bansos, sejauh ini kan sudah banyak diberikan kepada kelompok masyarakat miskin. Jadi memang penting sekali bahwa kelas menegahnya seperti apa untuk mendorong konsumsi. Ini yg diharapkan arahnya dari PPh21 DTP yang akan dibuat lebih simple, supaya uangnya bisa diterima langsung ke pekerja formal,” kata Febrio.

Sumber: Beritasatu.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only