Sudah Jadi Kebutuhan, Pengguna Rela Bayar Pajak Layanan Digital

Penerapan perpajakan bagi pengguna layanan konten berupa data, informasi, atau multimedia melalui jaringan internet tidak menurunkan minat penggunanya. Layanan digital telah menjadi kebutuhan sebagian masyarakat Indonesia.

Pemerintah Indonesia, mulai 1 Agustus 2020, menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas harga dasar layanan jasa digital yang ditawarkan perusahaan raksasa berbasis internet (over the top/OTT).

Pemungutan pajak dilakukan kepada pengguna layanan perusahaan Amazon Web Service Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International B.V., dan Spotify AB. Berikutnya, pemerintah juga mengincar perusahaan digital lainnya agar memungut PPN penggunanya.

Reno Mahardika (26), pengguna layanan streaming musik Spotify dan video Netflix sejak 2017, yang dihubungi Kompas, Senin (3/8/2020), mengaku tidak masalah dengan kenaikan tarif berlangganan di dua aplikasi tersebut.

Penggemar film itu selalu mengeluarkan Rp 225.000 untuk berlangganan Netflix setiap bulan. Pengenaan pajak 10 persen akan membuat pengeluarannya naik menjadi Rp 241.000 per bulan. Sementara untuk berlangganan Spotify, ia menghabiskan Rp 55.000 per bulan setelah dikenai pajak.

”Menurut saya, masih wajar harga segitu, jadi enggak masalah kalau ada pajak digital begitu,” ujar pekerja swasta yang selalu mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan hiburan tersebut.

Dessy Frizona (30), yang baru tiga bulan belakangan ini berlangganan Netflix, juga mengaku tidak keberatan dengan kenaikan tarif berlangganan. Sejauh ini, layanan yang menyuguhkan film dan serial itu dibutuhkan untuk mengisi waktu dan menghibur dirinya dan keluarga di tengah pembatasan sosial.

”Saya menikmati betul layanan digital seperti ini. Di tengah situasi pandemi seperti ini justru bermanfaat sekali. Kenaikan tarif karena pajak saya kira enggak terlalu menyusahkan,” kata ibu satu anak yang biasa mengeluarkan hampir Rp 200.000 untuk berlangganan layanan tersebut.

Kecenderungan pengguna OTT untuk membayar layanan yang tersedia pernah dilaporkan perusahaan penyedia video daring Brightcove dan YouGov dalam Asia OTT Research Report 2019. Survei yang dilakukan pada 9.000 responden di sembilan negara Asia, termasuk Indonesia, menyimpulkan bahwa sekali mencoba layanan OTT, orang akan kembali lagi untuk berlangganan.

Di Indonesia, 54 persen orang yang telah memiliki atau terbiasa pengalaman mencoba layanan OTT akan kembali lagi. Sementara, 29 persen masih menimbang-nimbang dan 17 persen di antaranya tidak berkeinginan meneruskan membayar biaya layanan tiap bulan.

Harga layanan

Di sisi lain, survei tersebut juga mencatat, biaya layanan gratis beriklan diminati banyak pengguna OTT. Sebanyak 43 persen responden Indonesia mempertimbangkan mendaftar layanan bulanan beriklan untuk mengurangi pengeluaran. Sebanyak 38 persen responden setuju. Sementara 12 persen menjawab tidak dan 10 persen tidak tahu.

Dalam pertanyaan seberapa banyak responden mau membayar biaya berlangganan, banyak responden Indonesia memilih layanan gratis (31 persen) layanan berbiaya lebih murah (17 persen) walau harus menonton iklan. Adapun 16 persen responden memilih fleksibilitas untuk menentukan harga dan iklan.

Walaupun masyarakat memiliki keinginan untuk membayar layanan OTT, tarif masih menjadi pertimbangan utama bersama dengan konten. ”Di banyak wilayah, responden yang belum pernah mencoba layanan OTT sangat sensitif terhadap harga,” kata laporan tersebut.

Sepertiga lebih (33 persen) responden Indonesia memilih biaya berlangganan di bawah 1 dollar AS. Semakin mahal biayanya semakin berkurang responden yang memilih.

Direktur Eksekutif Information Communication Technology Institute Heru Sutadi, kepada Kompas mengatakan, biaya layanan internet di Indonesia yang relatif mahal kemungkinan juga memengaruhi preferensi orang berlangganan layanan OTT.

Menurut data CupoNation 2019, tarif koneksi internet fiber per mega bit per detik (Mbps) di Indonesia berkisar antara Rp 14.895 hingga Rp 43.500. Nilai itu jauh lebih mahal daripada tarif di Singapura yang berada di antara Rp 325 hingga Rp 628 per Mbps, Malaysia antara Rp 677 dan Rp 8.959 per Mbps, atau Thailand antara Rp 1.080 dan Rp 7.487 per Mbps.

”Kalau biaya layanan OTT dari perusahaan asing sendiri lebih variatif. Tapi, tergolong murah karena pakai penghitungan paritas daya beli,” katanya.

Sumber: Kompas.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only