Melihat Pemulihan Ekonomi dari Sisi Permintaan

JAKARTA — Tak hanya krisis kesehatan, pandemi Covid-19 juga mengakibatkan perlambatan ekonomi secara global. Berdasarkan data dari BPS, walaupun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan pertumbuhan di Triwulan I – 2019, perekonomian Indonesia pada triwulan I – 2020 masih tumbuh di angka positif, yaitu sebesar 2,97%. Tetapi, prediksi pertumbuhan Triwulan II menurut Menkeu Sri Mulyani berkisar antara -5,1% hingga -3,5% dengan titik tengah -4,3%.

Kontraksi ekonomi pada prediksi tersebut lebih dalam dari prediksi yang sebelumnya disampaikan yaitu -3,8%. Apabila kontraksi berlanjut hingga mengakibatkan minusnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut- turut, secara teknis resesi akan terjadi. Diperlukan adanya langkah yang cepat dan tepat untuk mencegah jatuhnya perekonomian yang lebih dalam lagi.

Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) diambil oleh pemerintah untuk memitigasi perluasan dampak Covid-19 pada kesejahteraan masyarakat. Perubahan postur dan rincian APBN tahun anggaran 2020 dilakukan untuk mengakomodasi program PEN ini. Pada akhir Juni lalu, pemerintah kembali mengubah postur APBN yang sebelumnya ditetapkan melalui Perpres Nomor 54 tahun 2020 dengan menerbitkan Perpres nomor 72 tahun 2020 yang bertujuan untuk akselerasi belanja penanganan Covid-19 dan program PEN.

Pada Perpres Nomor 72 tahun 2020 ini, outlook defisit APBN disesuaikan lagi menjadi 6,34% dari PDB. Anggaran sebesar Rp 695,2 triliun dialokasikan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang di antaranya terdiri dari biaya di bidang kesehatan, pemberian insentif pajak bagi dunia usaha, dukungan untuk UMKM, bantuan sosial, dana insentif daerah untuk penanganan Covid-19, dan belanja penanganan Covid-19 lainnya.

Konsumsi Rumah Tangga

Kekuatan penawaran dan permintaan menjadi penggerak dalam ekonomi. Pada program PEN, pemulihan dari sisi penawaran dilakukan melalui dukungan kepada UMKM, insentif perpajakan dan kepabeanan, serta pembiayaan korporasi. Sedangkan dari sisi permintaan dilakukan melalui pemberian perlindungan sosial dan insentif perumahan bagi MBR.

Mengapa bantuan sosial dapat memulihkan ekonomi dari sisi permintaan? Konsumsi rumah tangga merupakan salah satu komponen permintaan dalam ekonomi. Menurut data dari BPS, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada Kuartal I – 2020 hanya sebesar 2,84%. Angka tersebut menurun bila dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada periode yang sama pada 2019 yaitu 5,02%.

Di Indonesia, konsumsi rumah tangga merupakan penopang pertumbuhan ekonomi dengan porsi lebih dari 50%. Oleh karena itu, bantuan sosial perlu disalurkan untuk menjaga konsumsi agar tidak terus menurun, yaitu dengan cara menjaga daya beli masyarakat.

Turunnya tingkat konsumsi masyarakat di antaranya disebabkan oleh menurunnya pendapatan dan meningkatnya tingkat pengangguran. Sejak pandemi Covid-19 melanda, perusahaan mencoba bertahan dengan mengurangi biaya, salah satunya dengan merumahkan pegawai sehingga penghasilan pegawai menurun bahkan diputuskan hubungan kerjanya.

Sebagian besar pekerja informal juga harus kehilangan pekerjaannya. Hal inilah yang menjadi urgensi penyaluran bantuan sosial untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat. Pergerakan ekonomi akan sulit terjadi bila hanya sisi penawaran yang didorong, melainkan juga perlu mempertahankan permintaan atas barang dan jasa.

Perlindungan sosial diberikan dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, diskon listrik, bansos tunai (non-Jabodetabek), bansos sembako (Jabodetabek), BLT Dana Desa, Kartu Pra Kerja, serta bantuan logistik, pangan, dan sembako. Perlindungan sosial dianggarkan sebesar Rp 203,9 triliun dalam program PEN. Per 15 Juli 2020, Kemenkeu melaporkan realisasi belanja perlindungan sosial dalam program PEN mencapai 36,2% dari alokasi anggaran.

Beberapa Masalah

Perlu diperhatikan bahwa pemulihan ekonomi dari sisi permintaan dapat menghadapi beberapa masalah. Pertama, penyaluran bantuan sosial yang tak tepat sasaran. Penyaluran bantuan sosial didasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Perlu dilakukan pengawasan secara berkala dan dipastikan bahwa penerima adalah pihak yang tepat.

Selain itu, bantuan juga harus disampaikan tepat waktu. Jangan sampai penyaluran tersebut terkendala sehingga terlambat sampai kepada penerima. Diperlukan koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyaluran bantuan. Akses dan metode penyaluran juga menjadi tantangan mengingat kondisi geografis yang berbeda di tiap daerah.

Masalah lainnya adalah kondisi kesehatan di masyarakat yang masih tidak stabil dan ketidakpastian waktu meredanya pandemi. Jumlah kasus pasien yang dikonfirmasi positif terjangkit Covid-19 di Indonesia masih fluktuatif dari hari ke hari. PSBB yang sudah dijalankan selama beberapa bulan telah menimbulkan kebiasaan baru di masyarakat.

Masyarakat cenderung membatasi aktivitasnya di luar rumah sehingga permintaan atas barang dan jasa pada sektor tertentu. Contohnya transportasi dan konsumsi bahan sandang belum bisa pulih secara optimal. Oleh karena itu, pemulihan penanganan bidang kesehatan perlu dilakukan secara beriringan dengan pemulihan ekonomi untuk mencapai hasil yang optimal.

Dengan adanya kebijakan PEN diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat membaik pada Kuartal III dan IV. Ekonomi dapat bergerak kembali apabila daya beli dari masyarakat dapat terjaga. Tentunya pemulihan ekonomi ini harus dibarengi dengan penanganan Covid-19 pada bidang kesehatan karena sulit untuk mengharapkan ekonomi kembali normal apabila penanganan pandemi belum dapat menciptakan kondisi kesehatan yang stabil di masyarakat.

Sumber: Detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only