Minta kesetaraan dengan OTT, asosiasi TV swasta (ATVSI) dukung gugatan UU Penyiaran

JAKARTA. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mendukung uji materil Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 atau UU Penyiaran, berkaitan dengan penyiaran berbasis internet dalam layanan Over The Top (OTT).

Seperti diketahui, PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) telah mengajukan gugatan UU Penyiaran terkait layanan OTT tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua ATVSI Syafril Nasution mendukung gugatan tersebut, lantaran menurutnya siaran yang dilakukan televisi (TV) konvensional berbasis terestrial maupun siaran yang berbasis internet meski diperlakukan setara. Baik dari sisi pengawasan terhadap konten maupun kewajiban kepada negara, termasuk perpajakan.

Selama ini, kontrol dan kewajiban tersebut ditekankan kepada TV konvensional, namun tidak untuk yang berbasis internet seperti OTT. Sebagai gambaran, katanya, TV berbasis terestrial diawasi melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Agar siarannya bermanfaat, bermutu serta tidak merusak moral bangsa. Sementara OTT secara bebas tanpa aturan dan tidak diawasi,” kata Syafril kepada Kontan.co.id, Minggu (30/8).

Selain itu, TV konvensional juga dilekatkan dengan kewajiban perpajakan secara ketat. Menurut Syahril, perlakukan yang berbeda diberikan bagi penyedia layanan OTT, padahal sama-sama mendapatkan iklan dari dalam negeri.

“Yang utama dan terpenting agar setiap siaran diatur dan diawasi oleh pemerintah, dan ada manfaat memberikan pemasukan kepada pemerintah melalui pajak iklan,” sambung Syahril.

Hal penting yang harus ditegaskan, sambungnya, gugatan di dalam UU Penyiaran tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas perorangan, maupun memberatkannya. Namun, gugatan tersebut ditujukan untuk institusi atau korporasi penyedia layanan OTT.

“Tentu bukan kepada individu tapi yang dituju adalah korporasi atau institusi. Jadi tidak ada hubungan dengan yang banyak diinformasikan di Sosmed bahwa YouTuber atau content creator tidak bebas lagi. Salah kalau berpendapat seperti itu,” terang Syafril.

Sebagai informasi, RCTI dan iNews TV melayangkan gugatan ke MK terkait Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, agar penyiaran menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) agar ikut terikat dalam rezim Penyiaran. Dengan begitu, pemohon gugatan berharap tidak lagi timbul pembedaan perlakuan, serta bisa menciptakan kepastian hukum dan level playing field antara penyedia siaran konvensional maupun OTT.

Mengutip resume permohonan gugatan yang diajukan penggugatan ke MK, disebutkan bahwa sebagai rule of the game penyelenggaraan penyiaran, UU Penyiaran setidaknya mengatur enam hal, yakni: (1) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (2) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (3) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (4) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (5) pedoman perilaku siaran; dan (6) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Namun, terjadi pembedaan perlakuan karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional seperti para Pemohon, dan tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT.

“Pembedaan tersebut berimplikasi pada ketiadaan “level playing field” dalam penyelenggaraan penyiaran, yang pada akhirnya sangat merugikan para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materil maupun immateriil,” tulis resume gugatan, melansir dari website MK.

Sumber: Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only