Pengawasan Terintegrasi Sektor Finansial Masih Efektif

JAKARTA – Pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi adalah keniscayaan, mengingat bisnis, produk dan jasa di sektor ini yang saling bertautan dan memiliki risiko pengawasan yang tinggi.

Belum lagi besarnya konglomerasi sektor keuangan yang menguasai sekitar 65% aset di sektor ini, sehingga memerlukan satu lembaga pengawas yang bisa mengawasinya dengan sangat cepat untuk menemukan kemungkinan kesalahan yang bisa berakibat fatal bagi perekonomian dan konsumen.

Apalagi pengawasan terintegrasi yang sudah berjalan sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beroperasi penuh di 2014 hingga saat ini, menurut para pelaku industri keuangan di Tanah Air telah terbukti efektif, sehingga masih diperlukan dan tidak perlu dilakukan perubahan melalui penerbitan Perppu Reformasi Keuangan.

Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri, mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memang memberikan dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian nasional.

“Dampak Covid-19 mulai terasa pada sektor perbankan sejak kuartal II/2020. Namun begitu, kinerja dan tata kelola perbankan Indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan saat krisis sebelumnya,” katanya dalam webinar Stabilitas Sektor Finansial dan Perppu Reformasi Keuangan yang digelar Bisnis Indonesia, Selasa (1/9).

Menurutnya, perbankan nasional masih dapat menjaga rasio non-performing loan (NPL), serta memiliki permodalan yang masih kuat di tengah pandemi Covid-19.

Hal ini terbukti dari data yang ada, saat krisis 1998, rasio NPL berada di angka 53%, CAR -15,7 dan LDR 85. Sedangkan kondisi pada kuartal II/2020, saat ini rasio NPL masih terjaga di 3,11%, CAR 22,6% dan LDR 88,6%.

Industri masih cukup stabil dengan beberapa indikator keuangan yang masih terjaga. “Khususnya di NPL dengan perhitungan tanpa stimulus pun, tebakan saya masih akan terjaga pada level 5%—6%,” ujarnya.

Meski demikian, pihaknya menegaskan bahwa ke depan ada beberapa hal yang perlu diwaspadai bersama, terutama terkait risiko yang tumbuh dari konglomerasi keuangan.

Dia menilai bahwa pengawasan perbankan saat ini memang lebih kompleks, karena integrasi keuangan yang semakin besar seiring tumbuhnya konglomerasi keuangan di Indonesia.

Menurutnya, saat ini sudah ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang dipakai untuk memonitor berbagai macam risiko. Akan tetapi, aturan itu perlu ditingkatkan seiring dengan semakin besar dan cepatnya pertumbuhan konglomerasi keuangan di Indonesia.

Saat ini OJK sudah memiliki Komite Pengawas Terintegrasi yang beranggotakan kepala eksekutif pengawas perbankan, kepala eksekutif pasar modal, dan kepala eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (IKNB). OJK juga sedang menyusun Integrated Risk Rating (IRR) untuk menilai tingkat kesehatan konglomerasi keuangan.

Selain itu, lanjutnya, bisa juga standardisasi kerangka kerja regulasi dan pengawasan konglomerasi keuangan. Lalu, regulasi penerapan stress testing untuk konglomerasi keuangan, dan regulasi penerapan recovery plan untuk konglomerasi.

Aviliani, Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas, melihat bahwa saat ini fenomena krisis terjadi dalam rentang waktu yang lebih pendek, tidak hanya 10 tahunan ataupun 5 tahunan, tapi sudah mulai ada yang 2 tahunan.

“Dengan melihat fenomena krisis yang terjadi makin lama itu semakin pendek, maka market conduct yang harus diperbaiki di dalam regulasi, karena disana ada consumer protection,” ujarnya.

Jika terjadi krisis, kata Aviliani, maka sektor keuangan harus jadi perhatian, karena kalau terjadi sesuatu pada sektor keuangan akan berdampak pada krisis secara besar di negara itu. Namun, untuk kondisi saat ini meskipun terjadi Covid-19, kinerja bank rata rata masih baik.

“Urgensi dari pada rencana penerbitan Perppu Reformasi Keuangan ini untuk apa dulu. Jadi bukan soal pro balik ke BI atau tidak. Kemudian dari lembaga terkait juga harus dilibatkan. Jadi saya lebih melihat tujuannya apa dulu,” katanya.

PENGUATAN OTORITAS

Menurutnya, sebaiknya upaya pemerintah lebih difokuskan untuk melakukan penguatan terhadap otoritas dan kewenangan masing-masing lembaga untuk menjaga kestabilan sistem keuangan,tanpa harus menggunakan instrumen Perppu.

Aviliani mencontohkan bagaimana Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilakukan revisi untuk memperluas kewenangan lembaga tersebut membantu dalam penanganan terhadap bank yang mulai bermasalah.

“Kalau perlu ada aturan yang diperbaiki mungkin seharusnya LPS. Karena di dalam UU LPS ini dikatakan kalau bank sudah gagal baru ditangani. Menurut saya justru ini cost-nya lebih mahal,” ucapnya.

Dia juga menyoroti peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang diketuai oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan Komisioner LPS, Gubernur BI, serta Ketua Dewan Komisioner OJK juga memerlukan perbaikan dari segi pengambilan keputusan.

Pasalnya, saat ini Menteri Keuangan sebagai ketua komite hanya bersifat sebagai koordinator, sedangkan kewenangan pengambil keputusan masih terletak pada Presiden.

“Ini berat bagi Presiden, karena yang lebih tahu masing-masing adalah di komite itu. Saya pikir dua hal itu yang perlu diperbaiki dari sisi LPS dan antar lembaga itu jangan hanya sebagai coordinator, tetapi juga sebagai pembuat keputusan,” ujarnya.

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), menilai bahwa rencana pemerintah mengembalikan pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia merupakan suatu langkah kemunduran.

Selain itu, tegasnya, dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor lantaran melihat kebijakan pemerintah yang mudah sekali mengubah-ubah regulasi pengawasan di sektor keuangan.

“Permasalahan-permasalahan di sektor keuangan saat ini terutama yang berkaitan dengan pengawasan adalah penegakan hukum yang lemah,” tegasnya.

PERPPU REFORMASI KEUANGAN BELUM PERLU

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies, mengatakan bahwa Perppu tidak bisa diterbitkan secara serampangan karena harus ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka penyusunan suatu peraturan mesti dilakukan secara normal yakni dengan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) ke DPR.

“Jangan sampai Presiden terjebak oleh oknum-oknum yang ingin menguasai sektor keuangan dengan mudah lalu berbisik Perppu saja. Padahal ini adalah hak konstitusi sesuai Pasal 22 ayat 1 UUD dengan syarat adanya kegentingan,” katanya.

Dia melanjutkan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Perppu dapat diterbitkan apabila ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU atau UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau memang sudah ada namun belum memadai.

“Kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian hukum untuk diselesaikan. Jadi Perppu bukan untuk merevisi undang-undang,” jelasnya.

BUKAN SEKTOR KEUANGAN

Anthony melihat, persoalan ekonomi bangsa di tengah krisis pandemi Covid-19 ini tidak terletak pada sektor keuangan, namun pada sektor fiskal lantaran rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) kian menurun dari tahun ke tahun.

Pada 2019, rasionya adalah 9,8% dan pada Juli 2020 adalah 8%. Dari angka terakhir ini, 27% di antaranya digunakan untuk cicilan utang, sehingga tidak banyak pendapatan negara yang dapat digunakan untuk menyubsidi masyarakat terdampak Covid-19 agar tidak kehilangan daya beli.

Drajad Wibowo, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, mengatakan bahwa penerbitan Perppu tersebut tidak logis sehingga mesti ditolak. Dia membeberkan tujuh alasan kenapa publik harusnya mengatakan tidak pada aturan tersebut.

Pertama, tidak ada satu negara pun di dunia yang merombak struktur dan sistem otoritas moneter serta keuangan di tengah krisis karena pandemi.

“Kedua, negara yang pertumbuhan ekonominya anjlok lebih dalam dari Indonesia pun tidak melakukan perombakan. Berikutnya, perombakan ini tentu saja bukan praktik terbaik di tingkat internasional. Kita lihat Amerika, tetap pada Federal Reserve, padahal mereka tengah krisis juga,” ujarnya.

Alasan keempat, lanjutnya, perombakan struktur moneter semacam ini justru memperlihatkan kebingungan serta kepanikan Pemerintah. Hal ini malah kontraproduktif lantaran dapat dilihat oleh pasar sebagai bentuk ketidaksiapan Pemerintah, sehingga dapat menimbulkan efek berantai yakni larinya dana pada sektor keuangan keluar dari Indonesia.

“Kelima, independensi otoritas moneter dan pengawasan keuangan merupakan praktik internasional yang terbaik saat ini. Pemangkasan independensi itu justru membawa kita kembali ke zaman jahiliyah sebelum reformasi di mana Ketika itu terjadi skandal BLBI dan krisis perbankan,” katanya.

Dia sependapat dengan Anthony Budiawan yang menyatakan bahwa penerbitan Perppu ini justru akan dilihat sebagai tirani fiskal, moneter dan keuangan tanpa mekanisme kontrol baik dari legislatif maupun aparat hukum.

Untuk mencegah krisis moneter, keuangan dan perbankan di tengah pandemi seperti saat ini, menurutnya, yang dibutuhkan bukan Perppu melainkan cukup dengan memperkuat kelembagaan seperti LPS, perampingan proses penanganan bank bermasalah serta ketersediaan dana.

Akan tetapi, Pemerintah sering tidak memenuhi target penerimaan negara dan tidak memiliki tabungan fiskal yang cukup.

Sumber: Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only