Level Playing Field di Bidang Perpajakan

Beberapa waktu terakhir, penggunaan istilah level playing field di bidang perpajakan semakin marak. Paling terkini, istilah tersebut digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memberikan justifikasi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), atau sering disebut dengan PPN PMSE.

Dalam Siaran Pers tanggal 15 Mei 2020, DJP mengemukakan bahwa pemungutan PPN PMSE bertujuan untuk menciptakan level playing field antara pelaku usaha domestik dan asing yang melakukan penyerahan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP melalui perdagangan melalui sistem elektronik. Pemungutan PPN PMSE didasarkan pada argumen bahwa dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakan, ada ketidaksetaraan antara pelaku-pelaku usaha di atas.

Secara spesifik, pajak tersebut dipungut untuk memastikan bahwa pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP seperti streaming musik dan film, online advertising, serta online marketplace akan dikenakan beban pajak yang setara (proporsional). Pelaksanaan pemungutan tersebut tanpa memperhatikan domisili dari pelaku usaha yang menyediakannya. Secara logis, argumen ini mengarahkan diskusi pada asas kesamaan (equity) perpajakan.

Dalam pemungutan pajak, asas kesamaan tersebut menghendaki bahwa jumlah pajak yang terutang pada seorang wajib pajak disesuaikan dengan kemampuan membayar dari wajib pajak tersebut. Lebih jauh, International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) membagi equity menjadi horizontal equity dan vertical equity (IBFD, 2005). Horizontal equity menghendaki bahwa orang-orang yang berada dalam kondisi (ekonomi) yang setara harus pula mendapatkan perlakuan pajak yang setara pula.

Sebaliknya, vertical equity menghendaki bahwa orang-orang yang berada dalam kondisi (ekonomi) yang tidak setara harus mendapatkan perlakuan pajak yang tidak setara pula. Manifestasi dari asas kesamaan antara lain berupa pengaturan tarif progresif dalam pemungutan Pajak Penghasilan (PPh).

Dengan demikian, konsep kesetaraan dalam pemungutan pajak pada hakikatnya hanya relevan dalam pengenaan beban ekonomi pajak terhadap wajib pajak. Padahal, seorang wajib pajak tidak hanya dikenakan beban ekonomi pajak, melainkan juga beban administrasi pajak.

Beban administrasi

Beban administrasi pajak seorang wajib pajak meliputi kewajiban pelaporan, pemotongan, dan penyetoran pajak yang terutang. Dalam pemungutan PPh, beban ekonomi dan administrasi pajak melekat pada orang yang sama, kecuali ketentuan perundang-undangan menentukan lain. Sebaliknya, disain pemungutan PPN menghendaki adanya pemisahan antara pihak yang dikenakan beban ekonomi pajak dengan pihak yang dikenakan beban administrasi pajak.

Beban administrasi PPN dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pihak lain yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Sedangkan beban ekonomi PPN dikenakan terhadap konsumen, termasuk pemanfaat BKP atau JKP yang tidak mampu memberikan pertambahan nilai dalam rantai pasokan.

Permasalahan muncul ketika konsep level playing field, yang memiliki kesesuaian makna dengan asas kesamaan dalam pemungutan pajak, diterapkan untuk menciptakan kesetaraan pengenaan beban administrasi pajak antara pengusaha domestik dan asing. Keadaan inilah yang terjadi dalam pemungutan PPN PMSE.

Pemungut PPN PMSE, sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 dapat berdomisili di dalam dan di luar daerah pabean. Dan terhadap mereka dikenakan beban administrasi (penerbitan bukti pungut, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa, dan penyetoran PPN PMSE yang dipungut) PPN PMSE yang setara.

Pemungut PPN PMSE yang berdomisili di luar daerah pabean tidak dapat disetarakan dengan Pemungut PPN PMSE yang berdomisili di dalam daerah pabean. Pengenaan beban administrasi pajak kepada Pemungut PPN PMSE yang berdomisili di luar daerah pabean akan menimbulkan biaya kepatuhan (compliance costs) yang tinggi. Apalagi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik memiliki karakteristik high volume of low value transactions (OECD, 2015).

Pentingnya domisili dalam pengenaan beban administrasi pajak dapat dianalogikan dari pemungutan PPh terhadap subjek pajak luar negeri. Pasal 26 Undang-Undang tentang PPh mengatur bahwa beban administrasi (pelaporan dan penyetoran PPh terutang) PPh yang terutang pada subjek pajak luar negeri dikenakan terhadap “pihak yang wajib membayarkan” penghasilan, yaitu orang yang berdomisili di Indonesia, atau subjek pajak dalam negeri. Beban administrasi pajak dikenakan terhadap subjek pajak itu melalui sistem pemotongan pajak (withholding system).

Dengan menyetarakan beban administrasi PPN PMSE antara Pemungut PPN PMSE yang berdomisili di dalam dan luar daerah pabean, DJP sejatinya telah memperlakukan orang-orang yang tidak dalam kondisi setara dengan perlakuan pajak yang setara. Artinya, tujuan menciptakan level playing field di bidang PPN PMSE justru telah melanggar vertical equity dalam pemungutan pajak. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum terhadap Pemungut PPN PMSE dalam negeri.

Pasal 7 ayat (3) jo ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2020 sebagaimana telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 2/2020 mengatur bahwa terhadap pemungut PPN PMSE yang tidak memenuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE yang terutang akan dilakukan pemutusan akses setelah diberi teguran.

Secara teoretis, ketentuan ini ditujukan kepada PPN PMSE luar negeri, karena terhadap mereka tidak dapat dilakukan penagihan pajak sesuai dengan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UUPPSP). Sanksi pemutusan akses tidak relevan dikenakan terhadap Pemungut PPN PMSE dalam negeri, karena terhadap mereka dapat dilakukan penagihan pajak secara paksa.

Akhirnya, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari keadaan ini. Pertama, konsep level playing field yang dicanangkan dalam pemungutan PPN PMSE hanya merupakan jargon politik, dan tidak berkaitan dengan asas kesamaan dalam pemungutan pajak.

Kedua, konsep level playing field memang didesain memiliki kemiripan substansi dengan asas kesamaan dalam pemungutan pajak. Oleh karena itu, pemungutan PPN PMSE merupakan indikator akan segera berlakunya rezim pemungutan pajak langsung (seperti PPh) terhadap pelaku usaha subjek pajak luar negeri yang melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik kepada pembeli di Indonesia, tanpa menunggu konsensus global tentang pemungutan pajak layanan digital.

Sumber: Kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only