JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta data pekerja penerima bantuan subsidi upah (BSU) yang didasarkan pada data dari BPJS Ketenagakerjaan dipadankan dengan data Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
Dengan demikian, data pekerja penerima BSU senilai Rp600 ribu per bulan dapat lebih valid.
Hal ini disampaikan pimpinan KPK saat bertemu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (9/9/2020).
“Ini harus dipadankan dengan SPT atau surat pemberitahuan tahunan pajak, apakah benar perusahaan-perusahaan melaporkan pajaknya untuk pegawai yang upahnya di bawah Rp5 juta per bulan,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Rabu (9/9/2020).
KPK menekankan pentingnya data yang valid dan akurat agar penyaluran subsidi upah maupun bantuan sosial dalam bentuk lainnya tepat sasaran.
Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat di tengah pandemi.
Untuk itu, selain dipadankan dengan data SPT Pajak, KPK juga meminta Kemnaker memadankan data dari BPJS Ketenagakerjaan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Dengan demikian, penerima subsidi upah tidak menerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang berbasis DTKS.
Meski demikian, Alex mengakui tak tertutup kemungkinan penerima BSU menerima bansos dalam bentuk lainnya yang didata oleh pemerintah daerah.
“Bisa saja, karena pemerintah daerah juga melakukan pendataan lewat RT atau RW bisa saja menerima misalnya bantuan beras, ini yang kami sampaikan. Jangan sampai orang menerima bantuan berkali-kali dari berbagai sumber, tapi ada pihak lain yang berhak tetapi tidak menerima sama sekali. Ini kembali lagi masalah data penerima bantuan,” kata Alex.
Diketahui, program bantuan subsidi upah yang diluncurkan pemerintah pada
Program subsidi upah itu diluncurkan pada 27 Agustus 2020 merupakan bantuan senilai Rp2,4 juta untuk empat bulan atau Rp600 ribu per bulan bagi pekerja yang gajinya di bawah Rp5 juta per bulan.
Penyalurannya dibagi dua, yaitu Rp1,2 juta untuk dua bulan pertama, dan pencairan selanjutnya di dua bulan berikutnya juga senilai Rp1,2 juta.
Terdapat 15,7 juta orang yang ditargetkan menjadi penerima bantuan dengan syarat WNI yang dibuktikan kepemilikan Nomor Induk Kependudukan (NIK), terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan aktif membayar iuran sampai Juni 2020, mendapat gaji/upah di bawah Rp5 juta serta memiliki rekening bank aktif.
Dalam kesempatan ini, Ida Fauziah mengatakan, pihaknya meminta KPK untuk mengawal dan mendampingi pelaksanaan program BSU. Dengan demikian, program ini dapat tepat sasaran dan tepat guna.
“Agar program ini tepat sasaran. Benar-benar program ini memang niat awalnya untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pekerja atau buruh dalam rangka penanganan dampak Covid-19. Jadi kami mendorong agar pertumbuhan ekonomi bisa berjalan baik, dan daya beli teman-teman pekerja juga terangkat juga dengan adanya program ini,” katanya.
Realisasi penyaluran BSU dilakukan secara bertahap. Batch pertama dan kedua telah tersalurkan, sementara untuk batch ketiga sedang proses validasi oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Ida mengingatkan perusahaan atau pemberi kerja untuk memberikan data yang akurat. Ditegaskan, terdapat sanksi yang bakal dijatuhkan terhadap pemberi kerja yang tidak memberikan data sebenarnya.
“Apabila pemberi kerja tidak memberikan data yang sebenarnya, pemberi kerja dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal penerima bantuan pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan dan telah menerima bantuan pemerintah, penerima bantuan pemerintah wajib mengembalikan bantuan pemerintah yang telah diterima ke rekening kas negara,” katanya.
Sumber : Tribunnews.com
Leave a Reply