PPN PMSE diperkirakan tidak mengurangi konsumsi barang digital secara signifikan

JAKARTA. Pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% atas pembelian barang dan jasa digital melalui  perangkat elektronik dari pembeli/penyedia jasa luar negeri memang membuat pembeli harus merogoh kocek lebih dalam. Meski begitu, pengenaan PPN tersebut diperkirakan tidak akan mengurangi permintaan barang dan jasa digital secara signifikan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, sebagian besar konsumen barang dan jasa digital merupakan kelompok menengah atas yang tidak sensitif terhadap perubahan harga. Dengan demikian, kenaikan harga sebesar 10% akibat pemungutan PPN diperkirakan tidak akan memengaruhi permintaan barang dan jasa digital secara signifikan.

Untuk mengilustrasikan hal ini, ia mencontohkan segmentasi pelanggan yang ada pada layanan streaming video-on-demand (VoD)  Netflix International B.V. di Indonesia. Bhima berujar,  Netflix (tanpa PPN) di  Indonesia bisa mencapai Rp 109.000 per bulan, Rp 139.000 per bulan dan Rp 169.000 per bulan. Harga tersebut belum mencakup biaya berlangganan paket internet yang jelas dibutuhkan apabila pengguna ingin mengakses layanan streaming.

“Artinya, per orang bisa mengeluarkan minimum Rp 300.000 – Rp 500.000 untuk langganan Netflix. Jadi penggunaannya memang middle-up. Kelas ini cenderung inelastis dalam mengonsumsi hiburan virtual,” terang Bhima saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (30/9).

Sebagai informasi, pemerintah memang tengah mengejar penerimaan PPN dari  transaksi barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JPK) dari luar negeri yang ditransaksikan melalui perangkat elektronik. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020.

Dalam melaksanakan ketentuan tersebut, pemerintah menunjuk pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang telah memenuhi kriteria tertentu untuk memungut PPN atas barang dan jasa digital dari luar negeri yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.

Kriteria yang dimaksud yaitu memiliki nilai transaksi dengan pembeli barang dan/atau penerima jasa melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan di Indonesia, dan/atau memiliki jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan.

Bhima menilai, pemungutan PPN terhadap barang dan jasa digital memang bisa menjadi salah satu upaya untuk melengkapi penerimaan pajak konvensional. Meski begitu, ia menilai bahwa penerimaan dari pajak tersebut tidak akan berkontribusi terlalu besar dalam realisasi penerimaan pajak negara.

Mengutip hasil studi INDEF, Bhima menyebut bahwa potensi transaksi digital di Indonesia hanya akan mencapai Rp 530 miliar dengan asumsi tingkat kepatuhan pajak sebesar 50%. Angka tersebut hanya setara 0,1% dari target penerimaan PPN tahun 2020 yang ditetapkan sebesar Rp 507,5 triliun. 

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only