Pekan depan, IHSG diprediksi sideways, ini daftar sentimen yang mempengaruhi

JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan depan diprediksi cenderung sideways, setelah pada pekan lalu IHSG melemah 0,39% ke level 4.926,73.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee memperkiakan, IHSG dalam sepekan cenderung sideways di-range yang lebar dengan dengan support di level 4.881-4.754 dan resistance di level 4.991-5.075.

Beberapa sentimen yang mempengaruhi pergerakan IHSG pekan depan sebagai berikut:

Pertama, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan istirnya terkena Covid-19 menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar. Situasi politik AS bisa berubah bila kesehatan Trump memburuk. Selain itu, kondisi Trump dapat berpeluang menurunkan popularitasnya karena dianggap terlalu lemah dalam mengatasi Covid-19.

Trump diprediksi akan mengambil lebih banyak langkah keras terhadap China untuk menaikkan popularitasnya dan mempertahankan dukungan dari para pemilihnya sesudah berita positif Covid-19. “Hal ini meningkatkan risiko dan ketidak pastian di pasar keuangan. Pelaku pasar tidak suka ketidak pastian dan akan bergerak ke aset safe haven seperti emas, Dollar dan Yen,” jelas Hans, Minggu (4/10).

Kedua, debat pertama Trump dan calon dari Partai Demokrat Joe Biden dianggap kejam dan diwarnai hujan interupsi dan penghinaan. 

Trump juga mengatakan pemungutan suara melalui surat berpeluang terjadi kecurangan. Pengamat mengatakan tidak ada bukti bahwa hal itu terjadi di AS. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang periode pasca pemilu.

Bila nanti Biden memenangkan pemilu maka hal yang menjadi kekhawatiran pelaku pasar adalah pajak perusahaan mungkin akan naik dan peraturan yang lebih ketat. Kenaikan pajak dan peraturan yang ketat akan menekan laba korporasi yang berakibat valuasi saham menjadi lebih mahal.

Tetapi Biden dapat meredakan kekhawatiran tentang perang perdagangan dengan China dan banyak negara lain yang selama ini dilakukan oleh Trump. Perang dagang terbukti mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia dan menimbulkan banyak kerugian bagi banyak Negara. Selain itu, paket stimulus fiskal untuk mendongkrak ekonomi akibat Covid-19 yang selama ini gagal disepakati Partai Demokrat dan Republik, lebih berpeluang disahkan.

Ketiga, data ekonomi AS menunjukan perlambatan pemulihan. Salah satunya data ketenagakerjaan. Non-farm payrolls hanya meningkat 661.000 pekerjaan bulan September 2020 setelah naik 1,49 juta pada Agustus 2020.

Data ini di bawah ekspektasi ekonom yang disurvei Reuters yang memperkirakan 850.000 pekerjaan untuk September. Ini menunjukkan pemulihan pasar tenaga kerja AS melambat pada September. Penciptaan lapangan kerja masih jauh dari 22 juta pekerjaan yang di PHK sejak pandemi Covid 19. Jumlah pengangguran permanen di AS juga mengalami peningkatan.

Keempat,Kongres atau DPR AS akhirnya menyetujui proposal Partai Demokrat Paket Stimulus Fiskal senilai US$ 2,2 triliun untuk memberikan bantuan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin masih jauh dari kesepakatan paket bantuan Covid-19 di beberapa bidang utama.

Hal ini membuka peluang paket stimulus fiskal ini akan kembali terganjal atau gagal di Senat AS. Saat ini ekonomi AS sangat membutuhkan stimulus menyusul pemulihan ekonomi yang melambat. Bila paket stimulus ini kembali gagal akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan.

Kelima, di Eropa, terlihat indikasi awal terjadi gelombang kedua Covid-19. Prancis melakukan persiapan untuk melakukan siaga maksimum covid-19 mulai Senin (5/10). Kemungkinan langkah ini akan memaksa penutupan restoran dan bar dan memberlakukan pembatasan lebih lanjut pada kehidupan publik untuk menghindari penyebaran Covid 19 lebih lanjut.

Italia memperpanjang kondisi darurat untuk mencegah penyebaran corona baru hingga Januari. Inggris akan memperpanjang pembatasan lokal di kawasan utara sebagai tanggapan atas lonjakan kasus Covid 19. Di Spanyol khususnya kota Madrid akan menjadi ibu kota Eropa pertama yang kembali melakukan lockdown untuk menahan lonjakan kasus Covid-19.

“Gelombang kedua Covid-19 yang diantisipasi dengan langkah pembatasan sosial berpotensi membawa perlambatan ekonomi yang berpeluang menekan pasar keuangan khususnya pasar saham,” kata Hans.

Keenam, ketegangan Uni Eropa  (UE) dengan Inggris semakin meningkat ketika UE akan memulai tindakan hukum terhadap Inggris karena melanggar ketentuan perjanjian penarikan yang mengatur transisi pasca-Brexit. Para pemimpin UE akan menolak untuk menyetujui posisi negosiasi Inggris saat ini tentang bantuan negara itu ketika masa transisi berakhir pada akhir tahun.

Inggris dan UE tetap terpecah karena masalah bantuan negara, yang menjadi poin penting dalam negosiasi perdagangan. UE akan mengambil langkah proses hukum terhadap Inggris karena melanggar ketentuan perjanjian penarikan dari blok tersebut. Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan tidak memiliki terobosan untuk diumumkan dalam pembicaraan UE dengan Inggris. Tetapi dia tetap optimis bahwa kesepakatan perdagangan baru masih mungkin dilakukan sebelum akhir tahun.

“Saat ini diperkirakan Investor akan lebih memperhatikan saham dan obligasi Asia dibandingkan pasar AS,” jelas Hans.

Ketujuh, AS saat ini menghadapi risiko pemilu dan valuasi yang mahal. Pasar Asia terlihat lebih menarik karena pemulihan ekonomi dan pendapatan yang kuat dan valuasi yang jauh lebih murah. Data ekonomi China yang baik di tambah virus Covid-19 terkendali di sebagian negara kawasan Asia seperti di Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong.

Sedikit berbeda dengan sebagain kawasan Asia, Indonesia dan Filipina masih belum dapat menjinakkan pandemi Covid-19. Chief Economist for East Asia and Pacific Bank Dunia Aaditya Mattoo menyatakan, Indonesia dan Filipina belum sukses menangani pandemi sehingga tidak akan menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi dalam waktu dekat.

Sebelumnya Bank Dunia merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi -1,6 % dari 0,0% di tahun 2020 dan tumbuh 4,4% dari 4,8 % di tahun 2021.

Data yang keluar menunjukan selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli, Agustus hingga September 2020 Indonesia mengalami deflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi pada September 2020 di level 0,05%, sehingga terjadi deflasi selama triwulan III 2020. Pada Juli terjadi deflasi sebesar 0,10% dan Agustus 0,05%. Tingkat inflasi dari tahun kalender berada di angka 0,89% dan secara tahunan (year on year) tingkat inflasi berada di level 1,42%. Deflasi merupakan tanda lemahnya daya beli masyarakat akibat pandemi.

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only