Pelaku Ekonomi Digital Apresiasi Komitmen Pemberian Insentif Pajak

JAKARTA — Para pelaku usaha sektor digital mengapresiasi komitmen pemerintah yang memberikan peluang dimungkinkannya pemberian insentif pajak, termasuk tax holiday, dan insentif lain. Sejumlah asosiasi usaha digital segera menindaklanjutinya dengan memberikan masukan dan berkirim surat ke pemerintah.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diberitakan membuka peluang pemberian insentif pajak, termasuk tax holiday, bagi para pelaku ekonomi digital di Tanah Air, termasuk di dalamnya usaha rintisan berbasis teknologi (start-up) di berbagai sektor. Mereka pun, melalui asosiasi yang menaunginya, dipersilakan untuk berkirim surat kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyanie dengan tembusan ke menteri terkait.

Hal tersebut merupakan benang merah yang disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Indra Darmawan, dalam acara BeritaSatu CEO Power Breakfast bertema Ekonomi Digital Percepat Reformasi Struktural yang digelar di Hotel Aryaduta, Jalan Prajurit KKO Usman dan Harum, No 44-48, Jakarta Pusat, Jumat (20/11) pekan lalu.

President Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata menyampaikan apresiasinya atas keterbukaan Kemenkeu dalam menerima masukan untuk menyempurnakan regulasi di sektor ekonomi digital. “Kami berharap agar semangat ini bisa terus dipertahankan hingga terealisasi dalam peraturan teknis,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (23/11).

Mengenai pernyataan Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo yang meminta pelaku industri dan asosiasi untuk menyampaikan input tertulis kepada pemerintah terkait kebijakan keuangan di sektor ekonomi digital, Ridzki mengajak sesama koleganya di sektor ini untuk menyambut peluang yang diberikan dengan aktif memberikan masukan.

“Dengan demikian, sektor ekonomi digital yang kenaikannya sangat baik dalam beberapa tahun terakhir bisa memberikan kontribusi yang maksimal dan pertumbuhan yang berkualitas bagi berbagai lapisan masyarakat di Indonesia,” ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris Jendral Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengaku langsung berkoordinasi dengan pengurus dan pelaku industri teknologi keuangan (financial technology/fintech) yang bergabung di dalamnya untuk menindaklanjuti permintaan pemerintah itu setelah mengikuti acara BeritaSatu CEO Power Breakfast pada akhir pekan lalu.

Sunu menyampaikan, pengurus AFPI saat ini sedang berkoodinasi untuk membuat surat permintaan insentif kepada Menkeu yang juga akan ditembuskan kepada menteri terkait, yakni kepada Menko Marves Luhut B Pantaitan, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menkominfo Johnny G Plate.

“Kita langsung komunikasi dengan teman-teman. Kami sedang membuat surat untuk disampaikan kepada Menkeu dan juga tembusan ke menteri terkait sesuai yang diminta Pak Yustinus. Kalau soal FGD (focus group discussion), saya kira itu akan dilakukan kalau Kemenkeu meminta paparan, kami akan jelaskan,” ucapnya.

AFPI menyambut baik pernyataan Yustinus bahwa pemerintah memberikan peluang pemberian insentif kepada pelaku usaha industri digital, termasuk fintech. Apalagi, di tengah Covid-19, pemerintah sedang menjalankan program pemulihan ekonomi nasional (PEN), terutama yang banyak menyetuh UMKM. Sementara itu, pelaku fintech yang juga banyak menggarap pasar UMKM sedang membutuhkan dukungan dari pemerintah.

AFPI kemungkinan akan menyampaikan dua usulan kepada Menkeu. Pertama usulan pemberian subsidi premi asuransi untuk pinjaman kepada UMKM yang berisiko tinggi. Kedua, pemerintah diminta untuk mendorong perusahaan asuransi di Tanah Air untuk melahirkan lebih banyak produk asuransi kepada UMKM yang selama ini belum tersentuh.

Dia menjelaskan, pemerintah perlu memberikan subsidi premi asuransi untuk lebih menjamin pinjaman kepada UMKM yang berisiko tinggi. Sebagai contoh, UMKM peternak ayam yang belum tersentuh asuransi dan usahanya berisiko tinggi untuk kemungkinan gagal walaupun sudah menerapkan SOP usaha yang ketat, seperti memberikan pakan yang baik, diberikan obat, dan ayamnya disuntik secara rutin.

AFPI juga meminta kepada pemerintah untuk mendorong perusahaan asuransi di Tanah Air melahirkan banyak produk asuransi bagi UMKM. Selama ini, banyak usaha pelaku UMKM yang belum terjangkau produk asuransi, sehingga jika gagal usahanya akan bangkrut tanpa jaminan.

Menurut Sunu, pelaku UMKM saat ini banyak yang belum tersentuh layanan perbankan (bankable), termasuk dalam pinjaman usahanya. Pelaku usaha fintech pun banyak yang masuk memberikan bantuan pinjaman kepada mereka.

Tapi, perusahaan fintech yang menampung dana dari para investor, atau pihak ketiga (lender) juga tidak akan berani mengucurkan pinjaman kepada UMKM yang usahanya berisiko tinggi dan tanpa adanya jaminan asuransi.

Karena itu, pemerintah diharapkan mau memberikan subsidi presmi asuransi bagi UMKM yang berisiko tinggi dan mendorong perusahaan asuransi untuk melahirkan produk asuransi untuk bidang usaha UMKM yang selama ini belum tergarap. Dengan demikian, perusahaan fintech lebih yakin untuk memberikan pinjaman kepada UMKM.

Investasi Start-up

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan bahwa mayoritas start-up besar yang saat ini berkembang pesat di Indonesia memiliki struktur induk usaha (holding) yang berbasis di Singapura. Karena itu, negara jiran tersebut pun mendapatkan manfaat besar dari kebijakan perpajakan dan lainnya.

Hal itu diakibatkan oleh tingginya pajak yang dikenakan atas keuntungan (capital gain tax), seperti pajak perseroan terbatas, di Indonesia yang mencapai 25%. Kecuali, capital gain tax terhadap perusahaan yang telah terdaftar di bursa saham diberlakukan lebih rendah.

Masalahnya, tidak semua perusahaan memungkinkan untuk melakukan penawaran umum perdana (IPO) saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu, capital gain terkadang juga dihasilkan dari proses akusisi maupun merger, bukan hanya bagi perusahaan yang sudah terdaftar di BEI.

“Jadi, ada isu tarif pajak yang tinggi. Ada juga double tax yang membuat pemodal ventura Indonesia pun menempatkan dananya di Singapura yang memberikan insentif pajak capital gain hanya sebesar 5%,” ujar Nicko.

Dia menyayangkan banyaknya struktur holding start-up besar berada di Singapura, sehingga Indonesia kurang bisa mendapatkan nilai tambah. Selama ini, hampir seluruh pendanaan terhadap start-up di Indonesia ditampung dulu di holding start-up di Singapura. “Bayangkan, total yang telah diinvestasikan kepada start-up di Indonesia mencapai lebih dari US$ 20 miliar hingga sekarang,” tutur Nicko.

Puncaknya, pada 2018, investasi untuk start-up di Indonesia mencapai US$ 7 miliar. Selama tahun 2020 berjalan hingga kuartal III, selama pandemi, Indonesia juga masih mampu meraih kucuran modal hampir US$ 2 miliar untuk start-up.

“Namun sayangnya, dana yang masuk tersebut hanya dana operasional, bukan capex. Maka, kami setuju sekali dengan insentif pajak yang telah dipaparkan,” ungkap Nicko.

Saat ini, sepengetahuannya hanya tiga perusahaan investor start-up yang memiliki struktur holding di Indonesia, selain BRI Ventures, ada Mandiri Capital, dan MDI Ventures yang merupakan milik PT TelkomTbk.

“Saya sebagai anggota dewan dari Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) sempat berdiskusi untuk hal tersebut. Namun, ketika itu, belum banyak use case (studi kasus) terhadap capital gain bagi perusahaan modal ventura di Indonesia,” imbuhnya.

BRI Ventures, melalui Dana Ventura Sembrani Nusantara, yang diluncurkan pada Juni lalu sangat mendukung industri modal ventura di dalam negeri. Ini merupakan salah satu pionir dana ventura untuk Indonesia yang diharapkan dapat membangun lebih banyak use case terhadap isu capital gain tax yang selama ini lebih banyak menguntungkan Singapura.

Selasa,24 November 2020

Sumber: InvestorDaily.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only