Sengketa Perbedaan Interpretasi Tarif PPh Pasal 25 Pihak Terikat PKP2B

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan interpretasi penentuan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 untuk pihak yang terikat Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Perlu dipahami, wajib pajak merupakan perusahaan yang terikat dengan PKP2B dengan Pemerintah Indonesia. Pembuatan PKP2B tersebut dilakukan saat berlakunya UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (UU 10/1994). Selanjutnya, pada 2008 pemerintah melakukan perubahan UU tersebut melalui UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU 36/2008).

Otoritas pajak menyatakan penentuan besaran tarif PPh Pasal 25 harus sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam PKP2B. Otoritas pajak berpendapat seharusnya terhadap penghasilan yang diterima wajib pajak dikenakan PPh Pasal 25 dengan tarif sebesar 30%. Apabila terdapat perubahan peraturan tarif PPh Pasal dalam UU 10/1994 maka penentuan tarifnya tetap berdasarkan PKP2B.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya memang terikat pada PKP2B. Namun, apabila terdapat perubahan aturan maka ketentuan dalam PKP2B juga dapat mengikuti aturan perubahan. Dengan demikian, penghasilan wajib pajak dikenakan tarif 25% sebagaimana diatur dalam UU 36/2008.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat objek gugatan dalam perkara ini ialah keputusan di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Keputusan yang dikeluarkan oleh otoritas pajak tersebut memenuhi unsur dari terminologi keputusan dalam Pasal 1 angka 4 UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, keputusan yang dikeluarkan otoritas pajak merupakan objek gugatan. Dalam hal ini, Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan yang diajukan wajib pajak.

Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berdalil wajib pajak dalam penentuan tarif PPh Pasal 25 terikat dengan PKP2B. Akan tetapi, perlu dipahami, substansi dalam PKP2B tersebut mengikuti ketentuan dalam UU 10/1994 beserta perubahannya. Dengan demikian, apabila terdapat perubahan peraturan tersebut maka ketentuan dalam perjanjian juga mengikutinya.

Atas permohonan gugatan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 70594/PP/M.XVIA/99/2016 tanggal 3 Mei 2016otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Agustus 2016.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah permohonan gugatan oleh wajib pajak atas surat keputusan otoritas pajak No. KEP-1464/WPJ.19/2015 tanggal 7 Agustus 2015.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami Termohon PK merupakan perusahaan yang terikat dengan PKP2B dengan Pemerintah Indonesia. Dalam perkara ini, permasalahan utamanya ialah perbedaan penafsiran Pasal 14 angka 3 huruf (i) dan huruf (ii) PKP2B mengenai tarif PPh badan.

Menurut Pemohon PK, penentuan besaran tarif PPh Pasal 25 harus sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) huruf (i) dan huruf (ii), PKP2B menyatakan kontraktor harus membayar PPh atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima kontraktor dengan tarif progresif.

Adapun terdapat tiga lapisan tarif progresif, yaitu 10% untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp25.000.000. Selanjutnya, untuk penghasilan Rp25.000.000 sampai dengan Rp50.000.000 dikenakan tarif sebesar 15%. Bagi pengusaha yang memperoleh penghasilan kena pajak lebih dari Rp50.000.000 dikenakan tarif 30% atau tarif lebih kecil yang ditetapkan peraturan pemerintah.

Dalam perkara ini, Pemohon PK berpendapat seharusnya terhadap penghasilan yang diterima Termohon dikenakan tarif sebesar 30%. Apabila terdapat perubahan peraturan tarif PPh Pasal 25 secara umum maka penentuan tarifnya tetap berdasarkan PKP2B. Hal tersebut dilakukan karena PKP2B merupakan lex specialis atau aturan yang lebih khusus.

Lebih lanjut, setelah diundangkannya UU 36/2008 sampai sengketa ini berlangsung, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tarif bagi pengusaha yang terikat PKP2B belum diterbitkan. Dengan demikian, tarif PPh Pasal 25 yang digunakan tetap merujuk pada PKP2B.

Termohon PK menyatakan keberatan atas pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan pihaknya memang terikat pada PKP2B. Namun, berdasarkan Pasal 14 angka 3 PKP2B menyebutkan bahwa untuk penghasilan lebih dari Rp50.000.000 dapat dikenakan tarif sebesar 30% atau lebih kecil yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Dalam konteks ini, pada 2008 pemerintah telah melakukan perubahan UU 36/2008 dan nantinya juga akan mengubah aturan turunannya. Dalam peraturan terbaru menetapkan besaran PPh Pasal 25 dikenakan tarif tunggal sebesar 25%. Termohon PK berdalil pihaknya berhak menggunakan tarif yang diatur dalam UU 36/2008 tersebut. Menurut Termohon PK, laporan SPT tahunan PPh badan tahun pajak 2013 sudah benar.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruh gugatan terhadap surat keputusan tentang pembatalan STP sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung sebagai berikut.

Pertama, dikabulkannya permohonan gugatan Termohon PK dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan dalil-dalil dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara ini, permohonan gugatan yang diajukan Termohon PK cukup berdasar. Terhadap permohonan gugatan tersebut telah dilakukan pengujian dan penilaian oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan benar. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung ini menguatkan putusan Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pendapat Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. *

Sumber : ddtc.co.id, Senin 30 November 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only