Paket Stimulus Fiskal Cukup Dorong Investasi Hulu Migas RI?

JAKARTA — Industri hulu migas sedang dihantam badai pandemi Covid-19 yang menyebabkan lesunya investasi. Pemerintah tidak tinggal diam dan telah menggelontorkan lima paket stimulus fiskal demi menggairahkan investasi hulu migas.

Lalu, apakah stimulus fiskal ini mampu menarik kembali investasi?

Praktisi industri hulu migas Tumbur Parlindungan mengatakan, saat ini permintaan minyak sedang berkurang sebagai dampak dari pandemi, sehingga dengan adanya stimulus akan memperbaiki arus kas perusahaan migas dan bisa melanjutkan sejumlah kegiatannya di Indonesia.

“Stimulusnya lebih banyak untuk existing investor, untuk menggerakkan pekerjaannya di Indonesia atau melakukan investasi tambahan di Indonesia. Ini sinyal positif untuk para investor. Ini ditunggu para investor,” ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (07/12/2020).

Menurutnya, industri hulu migas dunia bertahan dengan tidak melakukan investasi terlebih dahulu karena permintaan sedang berkurang. Namun dengan adanya vaksin, menurutnya ini akan berdampak pada peningkatan aktivitas perekonomian, sehingga bisa meningkatkan permintaan minyak dan diharapkan produksi bisa kembali normal.

Permasalahan ke depan, lanjutnya, karena setahun ini tidak dilakukan investasi dan eksplorasi, maka akan berdampak pada berkurangnya pasokan dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan.

“Yang kita agak khawatirkan, harga komoditas akan naik tunggu saja tiga, empat, lima tahun ke depan,” jelasnya.

Seperti diketahui, demi mendorong investasi hulu migas, pemerintah telah resmi meluncurkan lima stimulus fiskal dan empat lainnya tengah dipersiapkan. Dari beberapa stimulus yang dikeluarkan, Tumbur menyebut ada dua stimulus yang sangat dibutuhkan.

Pertama adalah penundaan pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau Abandonment and Site Restoration (ASR). Kedua, yakni penundaan atau penghapusan pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk LNG.

“Ini cukup strong dorong ekonomi Indonesia, pajak dan lainnya faktor berikutnya,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, PPN seharusnya tidak ada, karena itu digunakan untuk pembuatan barang selanjutnya. Karena pengguna LNG, imbuhnya, adalah PLN dan industri.

“Itu yang kita harapkan untuk bergerak,” ungkapnya.

Menurutnya, sesuatu yang diperlukan untuk membuat investasi tidak hanya menggeliat, namun juga berkelanjutan, khususnya di Indonesia adalah revisi UU Migas. Karena dengan direvisinya UU Migas, maka akan memperkuat posisi kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

“Karena pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi, persepsi investor belum dikuatkan, maka dengan perubahan UU yang baru dibutuhkan untuk support itu,” jelasnya.

Selain UU Migas, yang dibutuhkan investor adalah mengenai iklim investasi. Banyak aturan yang belum sinkron, butuh ada satu peraturan umum yang mengatur agar sinkron antarkementerian, meski telah adanya Omnibus Law atau UU tentang Cipta Kerja.

“Ini yang masih belum kita lihat, meski ada Omnibus Law, tapi kalau bisa ada Omnibus Law khusus untuk oil and gas, mencakup semua aspek dari industri,” tegasnya.

Selanjutnya, terkait kepastian hukum. Dia menyebut, jangan sampai setiap terjadi pergantian pemerintahan, maka aturan hukumnya ikut berubah. Begitu ada perubahan baru, maka investor akan wait and see terlebih dahulu.

“Karena mereka investasi untuk 30 tahun, jadi apa yang kita lakukan sekarang dampaknya tidak akan kita rasakan lima tahun masih 20-30 tahun ke depan,” paparnya.

Senin, 7 Desember 2020

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only