Insentif Masih Dibutuhkan Tahun Depan, Ini Saran Pakar

Insentif pajak bagi pelaku usaha masih diperlukan dalam proses pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Namun, perlu adanya modifikasi desain insentif dengan melihat kondisi riil pelaku usaha.

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pandemi Covid-19 telah mengubah wajah ekonomi dan bisnis pada tahun ini. Menurutnya, situasi penurunan ekonomi sama sekali tidak masuk proyeksi bisnis pelaku usaha pada 2020.

Keadaan yang penuh dengan ketidakpastian tersebut masih memerlukan bantalan atau dukungan kebijakan pemerintah. Menurut dia, desain kebijakan insentif fiskal, terutama terkait dengan pajak, idealnya melihat dinamika pelaku usaha pada tahun ini.

Dengan demikian, desain insentif dapat tepat sasaran untuk mendukung pelaku usaha yang terdampak pandemi. Dia menyatakan tidak semua sektor bisnis mengalami tekanan usaha sehingga pemberian insentif perlu dilakukan secara selektif.

“Berangkat dari analisis dampak Covid-19 kepada pelaku usaha yang dilakukan BPS dapat terlihat mayoritas memang menyebutkan pendapatan alami penurunan tapi masih ada usaha yang meningkat tahun ini,” katanya dalam Seminar Nasional Perpajakan UPN Veteran bertajuk Corporate Tax Planning Strategies Facing New Era, Jumat (4/12/2020).

Bawono menjabarkan hasil survei BPS tersebut menangkap sekitar 82,8% mengklaim pendapatan yang menurun. Sementara sisanya, sebanyak 14,6% tidak mengalami perubahan alias pendapatan yang stagnan dan sebanyak 2,5% perusahaan mengalami peningkatan pendapatan.

Dari statistik tersebut maka secara umum 8 dari 10 perusahaan mengalami penurunan pendapatan pada tahun ini. Masih dari hasil survei yang sama, kebutuhan atas bantuan pemerintah masih diperlukan dan ini berlaku untuk skala usaha kecil hingga besar.

Pada usaha menengah kecil, misalnya, kebutuhan utama untuk bantuan pemerintah pada masa pandemi adalah bantuan usaha modal yang dipilih oleh 69% responden pelaku usaha menengah kecil.

Kemudian, keringanan dalam beban biaya produksi seperti tagihan listrik dipilih 41% responden dan relaksasi pembayaran kredit yang dibutuhkan oleh 29% responden. Hanya 15% responden usaha menengah kecil yang meminta bantuan berupa penundaan pembayaran pajak.

Situasi berbeda untuk kebutuhan bantuan pemerintah bagi usaha menengah besar. Sebanyak 39% responden menyebutkan bantuan berupa penundaan pembayaran pajak masih dibutuhkan.

Sementara itu, kebutuhan insentif paling besar bagi pelaku usaha menengah besar ada keringanan tagihan listrik yang dipilih oleh 43% dari total sekitar 30.000 responden. Kemudian, disusul dengan bantuan berupa relaksasi pembayaran kredit sebesar 40,3%.

“Kalau dilihat dari respons pemerintah dari sisi insentif pajak ini menunya sudah lengkap mulai dari relaksasi dalam PMK 110/2020, Perppu 1/2020 sampai dengan UU 11/2020. Tidak banyak negara yang ambil kebijakan ini,” terangnya.

Bawono menambahkan hasil survei BPS memberi justifikasi perlunya insentif pajak bagi pelaku usaha dalam menghadapi masa pandemi Covid-19. Hasil survei itu bisa menjadi modal pemerintah dalam mendesain kebijakan insentif untuk mendukung proses pemulihan ekonomi nasional dalam jangka menengah dan panjang.

Menurutnya, selalu ada tren pergeseran skema insentif pajak pada saat terjadi krisis dan pascakrisis. Pergeseran tersebut terjadi dari insentif dalam upaya menjaga likuiditas perusahaan menjadi insentif untuk meningkatkan daya saing dalam menarik investasi.

“Ada beberapa kebijakan insentif pajak perusahaan yang tidak dilakukan Indonesia tapi banyak dilakukan negara lain, misalnya kompensasi kerugian yang berlaku untuk masa pajak selanjutnya (carry forward) dan berlaku untuk masa pajak sebelumnya (carry back). Jadi itu bisa dipertimbangkan. Kemudian, pilihan lain seperti relaksasi ketentuan debt to equity (DER) untuk mendorong ekspansi usaha,” jelas Bawono. (kaw)

Sumber : ddtc.co.id, Jumat 4 Desember 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only