Cukai Rokok Memang Harus Naik, Tapi Bukan Demi Prevalensi

JAKARTA — Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 12,5 persen pada 2021. Meskipun tidak sebesar tahun ini, yakni 23 persen, tetap saja kabar kenaikan cukai rokok bikin pelaku industri deg-degan. Tidak terkecuali para perokok.

Pengurus Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Malang, Jawa Timur, Adi Harmadi memperkirakan banyak pabrik yang akan gulung tikar akibat kebijakan tersebut. Pasalnya, kenaikan terjadi di tengah jatuhnya daya beli masyarakat akibat pandemi covid-19.

Tahun ini saja, banyak pelaku usaha tak menjalankan kebijakan CHT secara penuh. Alasannya, jika kenaikan cukai sebesar 23 persen berlaku penuh dan Harga Jual Eceran (HJE) melambung hingga rata-rata 35 persen seperti ketetapan pemerintah, konsumen akan lari tunggang langgang dan produksi bisa mandek.

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pandemi covid-19 tidak bisa dijadikan pembenaran untuk tidak menaikkan cukai rokok yang berimbas langsung pada harga jual.

Justru, dengan kenaikan harga rokok, pemerintah berharap daya beli masyarakat (affordability) terhadap produk tersebut dapat ditekan, yang diikuti dengan menurunnya konsumsi rokok.

Terlebih lagi, pemerintah harus mengejar target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi merokok usia 10-18 tahun ke level 8,7 persen pada 2024 mendatang.

Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan kebijakan cukai 2021 kurang tepat jika tujuannya adalah menekan prevalensi perokok.

Pasalnya, kenaikan tarif hanya terbatas pada jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Sementara, jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan.

Dengan asumsi perokok usia muda tak loyal pada suatu merek atau jenis rokok tertentu, menurutnya, yang terjadi justru bukan penurunan, melainkan pergeseran konsumsi. Sebab, sudah pasti produk rokok jenis SKT lebih murah ketimbang SPM dan SKM.

“Saya terus terang belum lihat penelitian rokok jenis apa saja yang dipakai pemuda. Kalau mereka rokoknya apa saja masuk, mungkin kebijakan ini kurang efektif untuk kurangi youth smoker,” ucapnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (11/12).

Sementara, bagi perokok usia di atas 18 tahun yang cenderung lebih lama kebiasaan merokoknya, menurut Adrison, kenaikan cukai rokok nyaris tidak akan berdampak karena mereka masih bisa menjangkau harga rokok ke golongan lebih yang rendah.

Hal ini terus terjadi dari tahun ke tahun lantaran gap pajak antargolongan dalam satu jenis cenderung melebar dari tahun ke tahun.

Ia menjelaskan jarak tarif pajak jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I dan II pada 2015 hanya sebesar 36 persen, tapi di tahun ini jaraknya sudah sangat jauh, yakni 57 persen.

Begitu pula untuk jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I dan II yang gap tarifnya melebar dari 57 persen pada 2015 menjadi 63 persen.

“Tahun depan gap-nya lebih jauh lagi. SKM golongan 1 dan 2 itu 67,1 persen. Nah, yang SPM golongan I dan II gapnya itu 65,5 persen. Selisihnya cukup tinggi dari pajak,” terangnya.

Kendati begitu, kata Adrison, kebijakan pemerintah untuk tetap menaikkan cukai bisa dimengerti. Sebab, menahan atau menurunkan tarif cukai justru bakal menimbulkan dampak lebih buruk. Di luar masalah kesehatan, pemerintah juga akan kehilangan potensi penerimaan negara yang cukup besar.

Perlu diketahui, porsi cukai rokok dalam pos penerimaan cukai selalu di atas dari 90 persen. Tahun ini, misalnya, dari target penerimaan cukai sebesar Rp172,2 triliun, Rp164,94 triliun di antaranya berasal dari CHT.

Sementara, berdasarkan LKPP Kementerian Keuangan, penerimaan dari pos cukai hasil tembakau juga terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Sejak 2015, penerima cukai hasil tembakau tercatat berturut-turut sebesar Rp123,2 triliun (2015), Rp137,93 triliun (2016), Rp147,7 triliun (2017), Rp161,7 triliun (2018), dan Rp164,87 triliun (2019).

“Justru kalau enggak dinaikkan potensi penerimaan tidak bisa dioptimalkan. Lalu, jumlah perokok akan jauh lebih besar. Jadi, jika tidak dinaikkan negatifnya lebih besar,” imbuhnya.

Di sisi lain, faktanya kenaikan cukai rokok tak berbanding lurus dengan penurunan prevalensi perokok muda. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan konsumsi tembakau pada populasi usia 10-18 tahun meningkat dari 7,20 persen pada 2013 menjadi 9,10 persen pada 2018.

Padahal di periode tersebut, cukai rokok selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya kecuali jelang pilpres 2014. “Cuma di 2014 saja, enggak naik. Lalu, 2019 juga kemarin enggak naik. Kita tahu lah karena apa,” tukas Adrison.

Kendati demikian, upaya untuk menekan prevalensi perokok tersebut harus terus dilakukan. Pasalnya, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi penyakit akibat rokok juga merugikan negara.

Kemenkes menyebutkan sejak 2014 sampai September 2015, ada ribuan kasus penyakit kronis akibat rokok dan membuat negara melalui BPJS Kesehatan harus merogoh kantong lebih dalam.

Pada 2014, terdapat 4.891 kasus penyakit jantung yang memakan biaya Rp8.189 miliar, dan berkurang menjadi 3.955 kasus pada 2015 dengan menghabiskan biaya sebesar Rp5.463 miliar.

Untuk penyakit gagal ginjal yang disebabkan rokok terdapat 1.406 kasus dengan menghabiskan Rp2.257 miliar, dan tahun 2015 sebanyak 1.211 kasus dengan biaya Rp1.665 miliar.

Sementara, penyakit kanker yang disebabkan rokok terdapat 936 kasus pada 2014 dengan biaya Rp2.211 miliar, dan 757 kasus pada 2015 dengan biaya Rp1.413 milliar.

Sedangkan masyarakat yang mengalami stroke yang disebabkan rokok pada 2014 berjumlah 550 orang dengan biaya Rp1.051 miliar, dan pada 2015 sebanyak 468 kasus dengan biaya Rp687 miliar.

Selain keempat penyakit dengan jumlah kasus tertinggi tersebut, terdapat juga penyakit talasemia atau kelainan darah dengan jumlah kasus 80 pada 2014 yang menghabiskan dana Rp282 miliar, dan 57 kasus pada 2015 dengan biaya Rp217 miliar.

Ada pula 98 kasus penyakit cirrhosis hepatis pada 2014 yang menguras dana Rp262 miliar, dan 73 kasus pada 2015 dengan biaya Rp162 miliar. Belum lagi penyakit hemofilia dengan jumlah 18 kasus pada 2014 yang memakan biaya Rp66 miliar, dan 14 kasus pada 2015 dengan biaya Rp52 miliar.

Kasubdit Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kemenkes Theresia Sandra Ratih mengatakan instrumen fiskal yang digunakan pemerintah tak efektif selama propaganda industri rokok sangat masif masih dan banyak anak di bawah umur mudah mengakses rokok.

“Masih banyak juga anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dan ini sangat berpengaruh bagi anak untuk merokok,” ucapnya.

Di samping itu, dana bagi hasil cukai rokok dan pajak rokok daerah juga belum optimal digunakan untuk promosi dan pencegahan konsumsi merokok.

“Penjualan rokok ketengan dan kemudahan anak akses rokok itu juga termasuk. Kemudian masih rendahnya tingkat kepatuhan penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok, serta komitmen pemerintah pusat dan daerah yang belum sama karena ada beberapa daerah yang belum membuat kebijakan kawasan tanpa rokok,” tandasnya.

Jumat, 11 Desember 2020

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only