Pengamat: Aturan Turunan PPh Asuransi Harus Beri Kepastian

JAKARTA. Ketentuan yang mengatur pajak penghasilan (PPh) asuransi seharusnya dapat memberikan kepastian kepada pelaku usaha maupun nasabah asuransi. Namun demikian, perkembangan produk asuransi juga mesti diimbangi aturan yang memadai.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengungkapkan, sistem PPh di Indonesia pada dasarnya merujuk pada pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan ekonomis. Dengan kata lain diperlakukan sebagai objek PPh. Namun demikian, ada jenis penghasilan yg dikecualikan dari objek PPh.

Salah satunya dari hasil pembayaran perusahaan asuransi sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e. Berdasarkan Pasal 111 UU Cipta Kerja, Pasal 4 ayat (3) huruf e tersebut terdapat perubahan bunyi yang bisa diinterpretasikan bahwa atas pembayaran dari asuransi yang tidak berkaitan dengan klaim jaminan perlindungan atas peristiwa tertentu.

Beleid itu menyebutkan, pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa. Dalam hal ini, satu objek pajak yang dikecualikan dihapus, yakni asuransi dwiguna (endowment).

Dengan kata lain, menurut Bawono, atas pembayaran asuransi yang sifatnya tidak berbasis klaim atas perlindungan tapi lebih ke arah instrumen investasi akan diperlakukan sebagai objek PPh. Misalnya yang akan terjadi pada asuransi dwiguna.

“Namun, hal ini sedikit kurang konsisten dengan penjelasan. Oleh karena itu, tentu kita berharap adanya suatu penjelasan ataupun aturan turunan yang bisa memberikan kepastian atas perlakuan PPh atas penghasilan asuransi tersebut ke depan,” ujar Bawono kepada Investor Daily, Rabu (13/1).

Maksud kurang konsisten yang disampaikan Bawono terlampir pada penjelasan atas perubahan pasal 4 ayat 3 huruf (e) UU 36/2008 menerangkan, pergantian atau santunan (klaim) yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa bukan merupakan objek pajak.

Hal ini selaras dengan ketentuan dalam dalam pasal 9 ayat 1 huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak.

Dia menilai, semua pihak perlu mencermati bahwa saat ini perkembangan asuransi sudah sedemikian pesat. Akibatnya, juga terdapat skema asuransi yang tidak lagi murni berbasis perlindungan, tapi juga menyiratkan instrumen investasi. Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu disoroti.

Pertama, perbedaan perlakuan pajak atas produk asuransi yang berbasis investasi untuk memperoleh penghasilan dari modal dengan instrumen keuangan lainnya (deposito, saham, dan sebagainya) bisa mendistorsi perilaku pasar dan menciptakan ketidaksetaraan. Kedua, sistem PPh di Indonesia juga menggarisbawahi perlunya kita melihat substansi dari suatu penghasilan.

“Dalam hal ini kita perlu mengajukan pertanyaan reflektif apakah pada dasarnya penghasilan dari asuransi dwiguna tersebut lebih condong ke penghasilan dari modal (investasi), walau memiliki legal arrangement asuransi? Hal inilah yang saya pikir perlu untuk dipertimbangkan dan diperjelas oleh pemerintah agar menimbulkan kepastian bagi para pelaku usaha,” kata Bawono.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menegaskan, sejatinya pelaku usaha lebih menginginkan jika asuransi dwiguna masih menjadi objek pajak yang dikecualikan, seperti aturan sebelumnya. Karena selain di seluruh dunia produk asuransi jiwa tidak dikenakan pajak, pengenaan PPh pada asuransi tersebut akan menggerus minta masyarakat untuk berasuransi.

“Dampak jika aturan ini berlaku pasti ada, yaitu orang jadi malas berasuransi. Kan kena pajak dua kali. Ini akan beda dengan reksadana, padahal nasabah sama-sama beli unit,” kata dia saat dihubungi Investor Daily, Senin (11/1).

Togar menuturkan, pemberlakukan pajak pada produk asuransi dwiguna turut berpotensi terjadi dua kali. Diantaranya oleh perusahaan asuransi saat menjual unit investasi dan oleh nasabah dari hasil pengembangan dana yang selama ini dibayarkan secara rutin.

Menurut dia, asuransi dwiguna yang memiliki fungsi ganda berupa asuransi jiwa berjangka dan sebagai tabungan jangka panjang bakal kalah pamor dengan produk lain seperti reksadana. Dalam hal penarikan dana di reksadana, nasabah tidak dikenakan PPh.

Untuk diketahui, berdasarkan statistik perasuransian 2019 oleh OJK, lini asuransi dwiguna mencatatkan premi pertanggungan baru mencapai Rp 33,39 triliun dan premi lanjutan sebesar Rp 6,78 triliun. Total kedua pos terbesebut mencapai Rp 40,17 triliun atau mencakup 21,69% dari total premi 2019 sebesar Rp 185,13 triliun.

Hingga 2019, terdapat setidaknya lebih dari 780 ribu jumlah polis/peserta perorangan dan kumpulan. Dari jumlah itu tercatat uang pertanggungan sebesar Rp 36,06 triliun. Sedangkan untuk dwiguna kombinasi tercatat sebanyak 1,76 juta polis/peserta perorangan dan kumpulan. Dengan total dana pertanggungan sebesar Rp 152,35 triliun.  

Sumber: Investor.id, Kamis 14 Jan 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only