Pelaku UMKM Soroti Pesangon, Pajak, dan Investasi dalam UU Ciptaker

JAKARTA. Sejumlah ketentuan dalam aturan turunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dinilai gagal memberikan jawaban bagi sektor usaha mikro dan kecil yang terdampak cukup parah oleh pandemi Covid-19.

Hal-hal seperti ketentuan mengenai pesangon, investasi, serta perpajakan dinilai kontraproduktif bagi kemaslahatan UMKM.

Mengacu pada RPP Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Serta Pemutusan Hubungan Kerja, pelaku UMKM wajib membayar uang pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak bagi pekerja sebesar 50 persen dari besaran hak perusahaan-perusahaan non-UMKM.

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menilai ketentuan tersebut tidak sesuai dengan omzet perusahaan ukuran mikro dan kecil serta menimbulkan risiko melanggar ketentuan hukum bagi pelaku usaha di sektor tersebut.

“UMKM ingin disamakan dengan perusahaan besar itu. Walaupun hanya 50 persen, itu masih berat sekali, Harusnya ada kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja terkait dengan pesangon,” ujar Ikhsan kepada Bisnis, Kamis (21/1/2021).

Berdasarkan data Akumindo yang diperoleh Bisnis, lebih dari 34 juta unit UMKM di Tanah Air mengalami penurunan yang cukup signifikan pada 2020. Omzet penjualan sektor UMKM secara nasional turun hingga 80-85 persen.

Hal tersebut seiring dengan penurunan yang dialami dari segi transaksi mencapai sekitar 50 persen secara tahunan dari Rp8,4 triliun menjadi Rp4,2 triliun.

Penurunan juga dialami dari segi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 23 persen secara tahunan dari 60,3 persen menjadi 37,3 persen; jumlah UMKM sebesar 46 persen secara tahunan dari 63 juta menjadi 34 juta unit; serta jumlah tenaga kerja yang menurun 23 persen secara tahunan.

Lebih jauh, tahun lalu Akumindo juga mencatat terjadi penutupan usaha dari kurang lebih 50 persen dari total unit UMKM di Tanah Air, ditambah dengan 7 juta karyawan kehilangan pekerjaan.

Perihal investasi, Ikhsan menilai ketentuan penanaman modal oleh investasi asing yang terbuka untuk perusahaan UMKM dengan modal di atas Rp10 miliar dapat menghambat upaya UMKM untuk naik kelas.

Menurutnya, sektor-sektor usaha seperti restoran kecil, kedai minuman, hotel/penginapan kecil dan akomodasi harian lain seharusnya tidak dibuka terlalu lebar bagi usaha asing.

Terkait dengan hal tersebut, pelaku UMKM yang tergabung ke dalam Komisi Nasional Usaha Kecil dan Mikro mengusulkan agar besaran Rp10 miliar tersebut ditingkatkan paling tidak menjadi Rp25 miliar.

Sementara untuk urusan perpajakan, insentif di dalam RPP dengan batas atas besaran peredaran tahunan yang diturunkan menjadi Rp2 miliar untuk perusahaan yang dikenakan pajak final 0,5 persen dinilai tidak relevan dengan kondisi UMKM saat ini.

Ambang atas fasilitas insentif perpajakan tersebut diusulkan untuk ditingkatkan menjadi Rp7,5 miliar per tahun dengan mempertimbangkan tingkat inflasi suku bunga dan perkembangan ekonomi.

Kendati demikian, asosisasi juga menyorot sejumlah hal yang memberikan dampak positif terhadap UMKM dari kebijakan pemerintah.

Pertama, terciptanya UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja klaster UMKM pengganti UU No. 20/2008 tentang UMKM; kedua, adanya orkestrasi pembinaan UMKM dan pengelolaan basis data menuju kepada satu kementerian.

Ketiga, stimulus atau bantuan pemerintah yang berkelanjutan; keempat, pembelian produk UMKM semakin tampak ditandai dengan alokasi anggaran baik APBN maupun APBD; kelima, keberpihakan BUMN kepada produk dan usaha dari sektor UMKM yang dinilai semakin kentara.

Sumber: Bisnis.com. Jumat, 22 Januari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only