Sengkarut Pajak Digital Berlanjut Di Meja WTO

JAKARTA — Sengkarut pemajakan ekonomi digital atau digital service tax antara Indonesia dan Amerika Serikat berlanjut di World Trade Organization (WTO). Organisasi perdagangan itu diharapkan menjembatani terciptanya solusi atas polemik kedua negara.

Sumber Bisnis di Kementerian Keuangan menjelaskan, WTO terlibat lantaran negosiasi yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) menemui jalan buntu. (Bisnis, 26/1).

Dia menceritakan, ada dua persoalan yang menjadi isu utama dalam polemik antara Indonesia dan AS di WTO itu.

Pertama penerapan klasifikasi barang dan pembebasan tarif bea masuk atas peranti lunak, yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/ PMK.010/2018.

Kedua substansi mengenai pemajakan atas ekonomi digital yang telah diundangkan oleh pemerintah melalui UU No. 2/2020. “Persoalan pertama AS tidak terima jika impor software atau perangkat lunak dikenai pajak dalam rangka impor.

Hal yang kedua soal pajak digital, ini negosiasi gagal lalu sekarang dibawa ke WTO,” jelas sumber Bisnis , Selasa (26/1). PMK No. 17/PMK.010/2018 pada intinya mengatur tentang tarif bea masuk bagi barang virtual, yakni sebesar 0%.

Kendati bertarif 0%, sejauh ini banyak perusahaan yang secara sukarela menginformasikan importasi barang digital kepada Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Bisnis, nilai devisa importasi untuk produk jenis ini selama Maret 2018—Juli 2020 mencapai US$12,5 juta, dengan nilai pajak penghasilan (PPh) lebih dari Rp3,7 miliar dan nilai pajak pertambahan nilai (PPN) lebih dari Rp18,8 miliar.

Barang-barang tersebut berasal dari banyak negara, di antaranya China, Swedia, Inggris, Singapura, dan Irlandia. Adapun AS, satu-satunya negara yang mengeluh perihal skema ini berada pada posisi 8 besar.

Artinya AS bukanlah importir utama. “Pemerintah masih memberlakukan ketentuan klasifikasi barang digital tersebut. Terlebih saat ini sudah ada cukup banyak perusahaan yang melapor secara sukarela,” tulis dokumen yang diperoleh Bisnis.

Untuk diketahui, penetapan tarif 0% merupakan salah satu strategi otoritas fiskal untuk mengidentifikasi para pelaku transaksi barang virtual. Sementara itu, terkait dengan perlakuan perpajakannya akan diterapkan pada kemudian hari.

Dengan kata lain, sikap keberatan dari AS itu merupakan langkah antisipatif jika ke depan Indonesia menerapkan perlakuan perpajakan terhadap transaksi barang secara virtual.

Adapun terkait dengan substansi pajak digital yang tertuang di dalam UU No. 2/2020 dikeluhkan lantaran AS menilai kebijakan tersebut diskriminatif karena hanya hanya menyasar subjek pajak nonresiden.

Sekadar informasi, UU No. 2/2020 menjadi dasar bagi pemerintah untuk menerapkan se- rangkaian pajak atas transaksi atau kegiatan ekonomi digital.

Di antaranya memungut PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), hingga PPh atau pajak transaksi elektronik (PTE) yang dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan atau penyelenggara PMSE dari luar negeri.

Hanya saja, pemerintah belum menentukan skema dan tarif atas pengenaan PPh dan PTE itu. UU No. 2/2020 hanya menyatakan bahwa besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan akan diatur di dalam peraturan pemerintah.

Saat ini, Pemerintah Indonesia telah menyusun tim khusus untuk menangani persoalan tersebut di meja WTO. Tim tersebut terdiri dari perwakilan kementerian dan lembaga terkait.

“Pemerintah sudah sering melakukan rapat, tapi tim saat ini sedang disusun dengan koordinator Kementerian Luar Negeri,” tegas sumber Bisnis. Fakta ini dikuatkan oleh pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.

Menurutnya, Indonesia saat ini tengah bertarung di WTO melawan penolakan skema perpajakan ekonomi digital yang dikeluhkan oleh Negeri Paman Sam.

“Kementerian Luar Negeri adalah koordinator perundingan isu perdagangan elektronik di WTO, dan salah satu agendanya adalah digital tax,” kata Teuku saat dihubungi Bisnis.

Teuku tidak bersedia menjelaskan perihal komposisi dari tim tersebut. Hal yang pasti, salah satu perwakilan berasal dari Kementerian Keuangan untuk menangani sengkarut pajak digital.

INVESTIGASI

Polemik mengenai pajak digital antara Indonesia dan AS mencuat setelah negara adikuasa itu melakukan investigasi terkait dengan skema pungutan pada Juni tahun lalu.

Kemudian, Indonesia mengirimkan surat balasan kepada AS pada bulan berikutnya yang berisi tentang komitmen untuk menunggu konsensus global di forum Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Puncak polemik terjadi saat AS melalui USTR merilis laporan bertajuk “Section 301 Investigations Status Update on Digital Service Tax Investigation of Brazil, the Czech Republic, the European Union, and Indonesia?.

Dalam laporan itu Indonesia dituding sengaja bersikap diskriminatif terhadap perusahaan asal AS dengan menerapkan skema perpajakan yang cukup berat.

Indonesia juga dituduh memaksa perusahaan AS untuk meningkatkan harga jual guna mematuhi aturan perpajakan, dan dengan sengaja penerapkan pengenaan pajak berganda.

Sementara itu, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menyarankan kepada pemerintah untuk mengabaikan ultimatum dari AS tersebut.

Pasalnya, Indonesia memiliki kedaulatan pajak dan bisa memungut PPh atau PTE terhadap perusahaan digital luar negeri yang mendapatkan pendapatan dari aktivitas bisnis di Tanah Air. “ The show must go on, sambil secara paralel tetap membuka komunikasi untuk konsensus global,” ujarnya.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia. Rabu, 27 Januari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only