Biden Teken Aturan Baru, Lampu Kuning Buat Batu Bara?

Terpilihnya Joseph Roubinette Biden (Joe Biden) sebagai presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) dinilai membawa kabar buruk bagi industri bahan bakar fosil. Kebijakan politikus Partai Demokrat ini berbanding terbalik dengan pendahulunya yaitu Donald Trump.

Salah satu manuver yang dilakukan oleh Biden selain mengusulkan stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun adalah dengan kembali ke Perjanjian Paris. Di masa pemerintahan Trump, AS mundur dari perjanjian tersebut.

Dalam Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim, ada target untuk menurunkan suhu bumi 2 derajat Celsius pada 2030 dan 1,5 derajat Celsius lagi pada 2050. Artinya, segala betuk aktivitas yang menyebabkan bumi semakin panas harus dibatasi, termasuk penggunaan batu bara sebagai sumber energi.

Tak sampai di situ, baru-baru ini Biden kembali menunjukkan langkah konkretnya untuk mereformasi sistem dan kebijakan energi di Paman Sam. Salah satu yang dilakukan presiden ke-46 AS itu adalah menghentikan (moratorium) kontrak migas baru di wilayah darat dan perairan AS. Ia juga memotong subsidi bahan bakar fosil.

Sementara itu, Biden juga meminta lembaga federal untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil. Namun belum jelas subsidi mana yang akan dicabut berdasarkan perintah itu.

Di AS, banyak keringanan pajak untuk industri harus disetujui Kongres terlebih dahulu. Pastinya, Biden berujar akan meminta Kongres mengakhiri US$ 40 miliar subsidi melalui UU.

Ia mengatakan tujuannya adalah untuk mencapai sektor energi listrik sepenuhnya tanpa polusi karbon pada tahun 2035. Dia juga berjanji untuk membantu merevitalisasi ekonomi masyarakat batubara, migas, dan pembangkit listrik.

Namun apakah batu bara akan serta merta disingkirkan begitu saja? Jawabannya tidak semudah itu, Ferguso! John Kemp seorang kolumnis Reuters memiliki pandangan yang menarik.

Dalam tulisannya, Ia menegaskan bahwa kebijakan energi AS lebih dipengaruhi oleh harga dan teknologi ketimbang kebijakan sang Presiden. Secara historis kebijakan pemerintah masih mampu mempengaruhi level mikro yaitu pasokan dan permintaan. Namun sulit untuk mempengaruhi level makro pada sistem yang digunakan.

Kemp menggunakan istilah yang menarik yaitu inersia (kemalasan) untuk menjelaskan mengapa harga dan teknologi lebih berpengaruh pada sistem bauran energi yang digunakan di AS.

Menurut data Administrasi Informasi Energi AS (EIA), di antara 1973 dan 2019, pangsa konsumsi energi primer total yang dipasok oleh bahan bakar fosil turun dari 92% menjadi 80%. Sisanya, konsumsi energi berasal dari pembangkit listrik tenaga air, tenaga nuklir, dan baru-baru ini pembangkit tenaga angin dan surya.

Pangsa nuklir terus meningkat dari 1% pada 1973 menjadi hampir 9% pada 2009 tetapi sejak itu terhenti. Baru-baru ini, energi terbarukan, termasuk angin, matahari, dan biofuel, telah meningkat dari hanya 3% pada 2000 menjadi lebih dari 8% pada 2019.

Namun perubahan ini sebagian besar didorong oleh harga dan teknologi daripada kebijakan presiden, dan perubahan telah terjadi di banyak pemerintahan. Keengganan sistem membuahkan hasil yang mengejutkan.

Kemp berkesimpulan bahwa kebijakan presiden tidak selalu berhasil dalam membuat perubahan sistem yang mereka rencanakan.

Pemerintahan Obama, yang tidak dikenal ramah terhadap produksi bahan bakar fosil justru harus berhadapan dengan peningkatan pangsa energi yang dipasok oleh gas.

Pengeboran horizontal dan teknologi rekahan hidraulik telah matang di bawah kepemimpinan Bill Clinton, kemudian harga gas yang tinggi di bawah pemerintahan George W. Bush mendorong penerapannya secara luas, menghasilkan perluasan produksi yang besar yang sebagian besar terjadi di bawah pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump.

Pemerintahan GW Bush, yang lebih bersahabat dengan bahan bakar fosil, bertepatan dengan penurunan pangsa energi yang dipasok oleh minyak, sebagian besar sebagai akibat dari lonjakan harga yang sangat besar antara tahun 2004 dan 2008.

Namun, harga yang lebih tinggi pada akhirnya mempercepat penerapan teknik pengeboran ke sektor minyak sehingga berakibat pada peningkatan produksi minyak bumi di bawah Obama dan Trump.

Sementara Trump, yang berjanji untuk memulihkan kejayaan batu bara, malah harus berhadapan dengan penurunan struktural jangka panjang yang berkelanjutan di sektor tambang batu bara, serta peningkatan lebih lanjut dalam pangsa penggunaan energi berbasis angin dan matahari.

Faktor-faktor inilah yang pada akhirnya membuat rencana ambisius kebijakan bauran energi AS yang diwacanakan oleh sang Presiden menjadi susah tercapai.

Di Amerika dan Eropa nasib batu bara boleh saja sunset. Namun, untuk kawasan Asia terutama China dan Asia Tenggara termasuk di dalamnya Indonesia, si batu legam masih bertaji.

Ke depan pertumbuhan konsumsi batu bara masih akan didominasi oleh negara-negara kawasan Asia. India dan China, meskipun berencana untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil ini, tetapi secara pertumbuhan masih akan diramal positif.

Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, batu bara menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Bersama dengan minyak sawit mentah, kontribusinya terhadap ekspor non-migas RI terbilang besar karena lebih dari 20%.

Indonesia memang kaya akan batu bara. Kementerian ESDM menyebut hasil kajian Badan Geologi Kementerian ESDM per Desember 2019 menunjukkan, total keseluruhan cadangan batu bara mencapai 37,6 miliar ton.

Perinciannya batu bara kualitas kalori rendah 14,4 miliar ton, kualitas kalori sedang 20,3 miliar ton, kalori tinggi 2,3 miliar ton, dan kalori sangat tinggi 0,42 miliar ton. Produksinya dalam setahun mencapai lebih dari 500 juta ton.

Dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru dan tingkat produksinya stabil (meski kemungkinan kecil), cadangan batu bara RI baru akan habis dalam kurun waktu 75 tahun lagi.

Kebanyakan produksi batu bara RI diekspor ke negara-negara Asia terutama China, Jepang, Korea Selatan dan India. Pasar batu bara di kawasan Asia-Pasifik masih bergeliat. Keterbatasan pasokan batu bara domestik China dan tingginya gas yang membuat harga listrik di Jepang naik membuat batu bara diuntungkan.

Apalagi hubungan China dan Australia yang memanas membuat konsumen batu bara terbesar di dunia tersebut beralih membeli batu bara dari Indonesia.

Berbeda dengan Australia yang memasok batu bara dengan kandungan kalori tinggi untuk kebutuhan industri metalurgi, ekspor RI ke China didominasi oleh batu bara termal untuk pembangkit listrik.

China sebelumnya sudah meneken komitmen untuk mengimpor batu bara lebih banyak dari Indonesia di tahun ini. China diperkirakan akan membeli batu bara Indonesia senilai US$ 1,47 miliar atau sekitar Rp 20,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$) pada 2021.

Hal tersebut berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia ( APBI ) dengan China Coal Transportation and Distribution yang ditandatangani pada Rabu (25/11/2020).

Komitmen perdagangan Indonesia dan China yang terjalin ini tentunya menjadi katalis positif untuk harga batu bara serta kinerja para produsen komoditas energi primer ini di Tanah Air.

Di sisi lain, pemerintah juga terus berupaya mendorong kebijakan bauran energi yang lebih berkesinambungan. Proyek-proyek hilirisasi batu bara seperti yang sekarang tengah digarap oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) terus digenjot.

Selain diharapkan mampu memberi nilai tambah bagi perekonomian, hilirisasi batu bara ini juga diharapkan menjadi salah satu langkah untuk mewujudkan kemandirian energi serta diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif solusi dan kontribusi terhadap permasalahan perubahan iklim.

Sumber: CNBCIndonesia.com . Kamis, 28 Januari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only