Signifikasi Pemajakan Pulsa Ponsel

Masih ingat dengan hitung-hitungan biaya pulsa yang pernah viral beberapa bulan silam. Substansinya adalah untuk mengurangi berkirim informasi yang menyedot pemakaian pulsa seperti gambar, video, tautan video, animasi, streaming atau film karena memang sangat boros.

Dalam pesan tersebut terdapat hitungan matematis sederhana namun implementatif dan cukup akurat. Penulis tidak menulis persis hitungannya, namun kali ini sudah disesuaikan dengan perkembangan harga saat ini.

Belanja kuota atau paket data misalkan dalam sebulan adalah Rp 25.0000. Dari konter pulsa pinggir jalan, jumlah data paket yang diperoleh adalah 4,32 gigabyte (GB). Jika ukurannya diubah ke satuan megabyte (MB) maka setara dengan 4.424 MB, karena 1 GB adalah 1.024 MB. Karena belinya Rp 25.000 maka harga per byte adalah Rp 5,65 atau terlihat sangat murah.

Apa yang terjadi saat pulsa atau paket tersebut digunakan sehari-hari, hasilnya menjadi sangat mencengangkan. Berita yang anda kirimkan baik foto, video, tautan video, tangkapan layar (screenshot) setiap pagi ternyata sangat menguras pulsa dan paket anda. Sebuah foto dari HP anda berkisar dalam ukuran 5 MB sampai 10 MB, video per menit dalam ukuran 10 MB dapat diilustrasikan pemakaian data paketannya dan sangat signifikan nilainya.

Informasi tersebut berukuran 10 MB, maka anda memerlukan biaya Rp 56,51 untuk membukanya. Namun jika Anda juga melakukan share ke grup anda misalkan ada 30 orang dan membuka semua, maka paket yang dikuras setara dengan biaya 10 MB x 30 orang x Rp 56,51 dan hasilnya pada pagi hari hanya 1 grup sudah Rp 16.954,21.

Persoalannya saat ini ada 6 operator seluler dengan jumlah pelanggan 351,5 juta. Tentu agak aneh jumlahnya, namun tidak mengherankan karena di Indonesia setiap orang bisa memiliki lebih dari 1 nomor telepon.

Jika 351,5 juta nomor tersebut melakukan hal sama setiap pagi, maka paketan data terkuras saat pagi hari minimal mencapai Rp 5,96 triliun. Akumulasi sebulan habis Rp 178,78 triliun dan setahun Rp 2.145,39 triliun. Jangan kaget biaya paketan data setara dengan nilai belanja APBN dalam setahun.

Untuk hal-hal pemborosan, ketidakefektivan pemakaian teknologi gadget dan smartphone seperti hal-hal di atas, maka beleid pemajakan pulsa, token, paketan data, dan juga voucher menjadi signifikan. Rakyat Indonesia memang perlu diedukasi untuk bijak menggunakan kecanggihan teknologi, agar informasi menjadi efektif dan memang bermanfaat.

Dampak pemajakan

Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 6/PMK.03/2021 yang berlaku sejak 1 Februari 2021 memang sangat mengejutkan. Kendati dijamin pemerintah bahwa yang menjadi subjek pemajakan pada tingkat hulu yakni sampai distributor tingkat II (server), betapapun penulis yakin akan berdampak kenaikan pada tingkat pengecer atau hilir.

Memang di konter penjual pulsa dan paketan tidak akan menuliskan biaya PPN dan PPh, namun distributor tentu akan membebankan biaya tersebut pada harga jual eceran mereka. Teknik ini populer disebut dengan harga gross-up yaitu sudah memperhitungkan ongkos pajak. Alhasil harga paketan paling murah sebelumnya Rp 25.000, pasti akan terkerek naik. Teknik yang canggih harga tetap tidak berubah namun paketannya tidak lagi 4,32 GB dan seterusnya.

Yang pasti estimasi kenaikan harga pulsa minimal adalah 35% berasal dari PPN 10% dan PPh maksimal 25%. Distributor tentu akan meng-gross-up penjualannya 35% dan kemudian dibagi dengan volume penjualannya. Menggunakan simulasi, dengan gross-up 35% maka harga per byte akan menjadi Rp 7,63 dari semula Rp 5,65. Jadi untuk mendapatkan paketan data 4,32 GB dulu harganya Rp 25.000, maka per 1 Februari 2021 akan terkerek menjadi Rp 33.750. Artinya tetap naik dan tidak bisa tetap.

Dari konteks ini jika pemerintah menjamin tidak ada perlakuan PPN atau PPh pada tingkat pengecer tentu saja terbantahkan. Memang secara tertulis tidak ada sama sekali, namun praktiknya mereka akan menaikkan harga sebagai kompensasi tagihan pemerintah jika terjadi kurang bayar pajak pada akhir tahun. Distributor tentu tidak akan membiarkan margin keuntungannya turun dan oleh karena itu pasti akan mencadangkan dalam bentuk kenaikan harga dan korbannya tentu pembeli ritel atau eceran di tingkat kios atau konter pinggir jalan.

Malah potensi keuntungan menjadi sangat terbuka di tingkat hulu yakni provider dan distributor. Pajak-pajak tersebut akan menjadi pajak masukan dalam SPT tahunannya dan terbuka peluang dikreditkan dari pemerintah menjadi keuntungan distributor. Distributor kini untung dari pembelinya dan juga untung karena mendapatkan pengembalian atau restitusi pajak.

Kehebohan masyarakat dengan pemajakan pulsa, paketan data, kartu perdana, token, atau voucher dengan menyebutkan transaksi telepon adalah remeh-temeh memang juga perlu diluruskan. Transaksi data, suara dan internet di Indonesia memang sangat luar biasa besar. Perkembangan digital menaikkan transaksi digital termasuk di dalamnya pulsa atau paketan.

Transaksi belanja online 2020 mencapai Rp 604,36 triliun hanya dari 18 marketplace di Indonesia. Eksistensi e-commerce ini ada karena adanya paketan data dan pulsa.

Saat ini ada 6 operator telekomunikasi yang berhubungan langsung dengan pulsa dan paketan data yang akan secara langsung mendapatkan dampak dari pemberlakuan PMK 6/2021 tersebut. Telkomsel adalah operator terbesar dengan 170,10 juta pelanggan. Berikutnya Indosat (60,40 juta), XL Axiata (56,80 juta), Tri (38 juta), Smartfren (26 juta) dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (200.000 pelanggan).

Jika belanja pulsa per bulan maksimal Rp 100.000, maka total pendapatan operator telepon akan mencapai Rp 421,8 triliun. Untuk hal ini maka pemajakan PPN dan PPh menjadi sangat signifikan bagi pemerintah karena nilainya dengan standar total pemajakan 30%, maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan Rp 126,54 triliun.

Namun yang unik, pemerintah beberapa bulan lalu juga memberikan subsidi pulsa sampai 50 GB atau setara dengan Rp 100.000 sampai 2 kali (aturannya 3 kali) dengan nilai Rp 7,21 triliun, namun bagaimana realisasinya? Jangan-jangan subsidi kuota internet Rp 7,21 triliun digelontorkan namun ujung-ujungnya untuk mendapatkan Rp 126,54 triliun. Semoga ini tidak terjadi.

Sumber : KONTAN.CO.ID, Jumat 5 Februari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only