Bijak Memajaki Pemulihan Ekonomi

Seperti yang sudah diperkirakan, pandemi covid-19 berdampak negatif pada penerimaan perpajakan negara. Kementerian Keuangan mencatat, dari target sebesar Rp1.198,8 triliun, realisasi penerimaan pajak 2020 hanya sebesar 89,3%. Nilai ini mengalami kontraksi 19,7% jika dibandingkan dengan penerimaan 2019.

Sebabnya, pertama karena basis pajak yang berkurang dengan melemahnya aktivitas ekonomi selama pandemi. Kedua, semakin menyempitnya ruang penerimaan pajak karena pemerintah banyak memberi insentif pembebasan atau keringanan perpajakan di berbagai sektor untuk mengatasi dampak pandemi.

Meski vaksin lalu memberi optimisme pada pemulihan ekonomi, namun nasib pendapatan negara masih akan membutuhkan waktu lama untuk kembali ke situasi normalnya. Seperti artikel yang ditulis oleh IMF, pemulihan penerimaan negara-negara pasca-krisis seperti yang terjadi terakhir pada krisis keuangan global 2008-2009, rata-rata membutuhkan delapan tahun untuk kembali seperti pada level pra-krisis.

Terlebih nanti dalam masa pemulihan pemerintah masih harus tetap mempertahankan insentif seperti pembebasan atau keringanan pajak untuk mengembalikan performa dunia usaha. Karena tak bisa dimungkiri, pajak memiliki peran penting menyelamatkan negara tak hanya saat krisis ekonomi, namun dalam proses pemulihan hingga beberapa tahun pasca-krisis. Peran yang paling dasar adalah sistem pajak dapat membantu mengimbangi dampak negatif pandemi yang berbeda antar-kelompok ekonomi. Di sisi lain, pajak juga diperlukan untuk mengumpulkan penerimaan negara yang masih banyak diperlukan anggaran untuk perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi.

Belum lagi kebutuhan sektor pendidikan dan kesehatan yang jadi mandatory spending di APBN, menuntut pemerintah harus siap dengan alokasi anggaran untuk kedua sektor ini masing-masing sebesar 20% dan 5% dari APBN. Artinya, berapa pun anggaran belanja negara kita ditetapkan, maka 25%-nya wajib dialokasikan untuk dua sektor itu. Semakin besar anggaran untuk pengeluaran negara, ya semakin besar negara harus menyiapkan uang untuk dua pos itu.

Karena itu pemerintah memiliki tantangan besar untuk menentukan strategi perpajakan dalam masa pemulihan ekonomi. Pemerintah harus mencari upaya agar bisa memaksimalkan penerimaan perpajakan, tanpa membebani ekonomi yang mencoba pulih dari pandemi. Bahkan kebijakan perpajakan dalam masa ini seharusnya bisa mencapai tujuan yang lebih mulia yakni men-generate penerimaan negara sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Sesuatu yang selama ini dianggap sebagai sebuah perennial paradox.

Optimalisasi cukai
Untuk mencapai tujuan itu, dalam pandangan saya, ada beberapa kebijakan perpajakan yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama, memaksimalkan penerimaan negara dari pajak yang bertujuan spesifik, namun distorsi terhadap perekonomiannya tidak terlalu signifikan.

Optimalisasi pengenaan cukai misalnya. Cukai yang saat ini dikenakan pada produk yang spesifik seperti rokok dan minuman beralkohol masih memiliki ruang untuk diintensifkan dari sisi besaran tarif cukainya maupun cakupan obyek cukainya.

Cukai, yang selama ini hanya populer dikenakan pada rokok, sesungguhnya adalah pungutan untuk mengendalikan konsumsi masyarakat atas barang yang menimbulkan eksternalitas negatif. Dengan tujuan ini, pengenaan cukai pada obyek baru yang menimbulkan dampak negatif pada lingkungan atau kesehatan masih cukup masuk akal.

Cukai pada kemasan plastik misalnya, selain tidak akan mendistorsi ekonomi secara signifikan, kebijakan ini juga relatif tidak akan terlalu menimbulkan kegaduhan. Toh selama ini tiap kita belanja di swalayan pun sudah harus membayar jika ingin menggunakan kantor plastik.
Contoh lainnya pengenaan cukai pada makanan atau minuman berpemanis atau berpengawet yang dalam jangka panjang membahayakan kesehatan. Pandemi yang memukul aspek kesehatan masyarakat tentu akan membuat kebijakan ini lebih populis di mata masyarakat.

Memajaki orang kaya
Kedua, jika bicara soal objek pajak yang bisa mengerek penerimaan, maka ada objek yang sangat potensial untuk digali dalam masa pemulihan. Salah satunya adalah pajak atas orang-orang kaya di Indonesia.

Asal tahu saja, potensi penerimaan pajak dari golongan ini di Indonesia masih bisa sangat besar. Bahkan Menteri Keuangan di awal 2020 pernah menyampaikan jika penerimaan personal income tax negara kita masih rendah, terutama di non-payroll tax. “Karena (banyak orang) kaya tapi enggak bayar pajak”, kata Sri Mulyani.

Memangnya berapa banyak sih orang kaya di Indonesia? Mari kita lihat catatan World Wealth Report 2020 yang diterbitkan Capgemini Research Institute. Pada 2019, jumlah orang kaya di Indonesia mencapai 129 ribu orang. Sebanyak 675 orang di antaranya adalah orang super kaya atau disebut ultra high net worth individuals. Menurut laporan itu, jumlah orang super kaya ini bahkan diprediksi akan meningkat 57% pada 2024 menjadi 1060 orang. Terbayang kan berapa penerimaan pajak yang bisa ditambah dari kekayaan orang-orang ini?

Sebuah penelitian yang dilakukan David Hope dan Julian Limberg di 18 negara OECD pun mendukung hal ini. Riset mereka menemukan bahwa menaikkan pajak orang kaya untuk menambah penerimaan negara tidak akan merugikan mereka secara ekonomi. Bahkan pemangkasan pajak orang kaya yang pernah dilakukan di negara-negara maju terbukti tidak memberikan trickle-down effects seperti yang diklaim para pendukung kebijakan tersebut.

Kita juga tak akan heran jika mereka adalah kelompok yang akan baik-baik saja dalam krisis ekonomi karena pandemi ini. Maka, intensifikasi pajak pada orang-orang kaya di negeri ini bisa menjadi jalan bagi pajak untuk mencapai filosofinya dengan sempurna. Yaitu mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan, atau dalam bahasa teorinya menciptakan vertical equity.

Genjot investasi
Cara ketiga adalah meningkatkan investasi sebesar dan secepat mungkin. Semakin besar investasi di negara ini akan memberi multiplier effect bagi perekonomian dan pada akhirnya meningkatkan penerimaan pajak bagi negara. Investasi, khususnya dari luar negeri dalam bentuk Foreign Direct Investment akan menciptakan lapangan kerja baru, membawa teknologi baru, dan secara umum meningkatkan pertumbuhan dan tenaga kerja.

Pertumbuhan usaha dan tenaga kerja ini selanjutnya akan menjadi basis pajak baru yang dapat meningkatkan pendapatan negara dalam bentuk pajak bagi pemerintah baik dari pajak penghasilan badan maupun pajak penghasilan pribadi para karyawan dan pengusahanya. Belum lagi pajak lain yang muncul seperti pajak pertambahan nilai (PPN) karena adanya proses produksi, atau pajak daerah seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk aset-asetnya.

Investasi ini harus datang secepat mungkin karena transmisi pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi hingga penerimaan pajak tentu perlu waktu. Karena itu semakin cepat investasi terealisasi akan semakin cepat juga dampaknya pada penerimaan negara.

Beberapa langkah ini adalah kebijakan-kebijakan besar yang bisa diambil pemerintah dalam menempuh misi berat peningkatan penerimaan negara, sekaligus mendorong pemulihan ekonomi. Sejalan dengan upaya tadi tentu ada hal-hal teknis yang perlu dioptimalkan untuk mendukung tercapainya tujuan perpajakan kita. Literasi perpajakan kepada para wajib pajak agar kepatuhan pajak meningkat diiringi pengawasan yang andal mengawal sistem self-assessment tentu menjadi hal yang tak kalah penting. Agar pemerintah bisa bijak memajaki pemulihan ekonomi.

Sumber: Medcom.id . Kamis, 18 Februari 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only