Pemerintah perbarui aturan pajak masukan, konsinyasi dan faktur pajak

JAKARTA.  Pemerintah telah memperbarui ketentuan pajak masukan, konsinyasi, dan faktur pajak. Tujuannya untuk mendukung kemudahan berusaha serta mendukung percepatan implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagaiamana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kebijakan terkait pajak pertambahan nilai (PPN) tersebut dituangkan dalam aturan turunan UU 11/2020 yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi yang Melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau Entitas yang Dimilikinya. Beleid ini mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.

Dalam hal relaksasi hak pengkreditan pajak masukan, pemerintah mengatur tiga ketentuan baru. Pertama, dapat mengkreditkan pajak masukan sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan deemed pajak masukan 80%.

Kedua, pajak masukan tidak dilaporkan di surat pemberitahuan (SPT), dan apabila ditemukan saat pemeriksaan dapat dikreditkan sesuai dengan bukti faktur pajak yang dimiliki.

Ketiga, pajak masukan ditagih dengan ketetapan pajak dapat dikreditkan sebesar pokok pajak. Sementara itu, aturan saat ini sebagaimana aturan sebelumnya yakni PP Nomor 11 Tahun 2012, ketiga skema pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan.

Selain itu, pengaturan pajak masukan sebelum PKP melakukan penyerahan terutang pajak pertambahan nilai (PPN)  dapat dikreditkan atas semua perolehan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP). Lalu, lebih bayar pajak dikompensasi ke masa berikutnya dan dapat direstitusi di akhir tahun buku.

Sementara itu, bila tiga tahun pertama sejak pengkreditan belum ada penyerahan BKP/JKP, PPN menjadi tidak dapat dikreditkan atau dengan kata lain dibatalkan. Aturan lama pajak masukan sebelum PKP menyerahkan terutang PPN hanya dapat dikreditkan sebatas barang modal.

Selanjutnya, reformasi PPN dalam PP 9/2021 telah menghapus skema BKP secara konsinyasi atau titip barang.  Sebagai ilustrasi, apabila ada wajib pajak yang menitipkan barangnya ke pada wajib pajak lain, maka di awal saat pemberian barang tersebut tidak langsung ditarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%. Barulah, saat barang yang dititipkan tersebut terjual akan dikenakan PPN.

“Jadi memudahkan wajib pajak dalam melakukan aktivitasnya, supaya wajib pajak tidak terbebani di awal. Kalau dilihat, usaha mikro kecil menengah (UMKM) pun banyak melakukan aktivitas konsinyasi atau menitipjualkan barang produksinya kepada penjual,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo beberapa waktu lalu.

Terakhir, PP 9/2021 menetapkan bahwa pengaturan kedudukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dipersamaratakan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam rangka pembuatan faktur pajak dan pengkreditan pajak masukan bagi PKP.

Sumber : KONTAN.CO.ID, Senin 22 Februari 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only