Alasan Pengusaha Pengelola Perparkiran Enggan Transformasi ke Sistem Digital

Asosiasi Pengelola Parkir Indonesia (Aspeparindo), Irfan Januar mengakui bahwa tidak mudah bagi pengelola parkir untuk melakukan digitalisasi. Sebab, pengusaha harus mengeluarkan kocek lebih dalam untuk membeli alat dan membayar jasa integratornya.

“Buat pembayaran non tunai ini harus ada integrator yang mengkoneksi perusahan kami dengan bank, karena kita butuh jasa itu, maka kita harus bayar,” kata Irfan dalam Diskusi Online bertajuk Digitalisasi Perparkiran, Siapa Diuntungkan, Jakarta, Rabu (24/2).

Belum lagi tarif pajak dari setiap transaksi mencapai 20 persen dari setiap kendaraan yang diparkir. Dia mencontohkan, tarif parkir per jam untuk kendaraan sepeda motor yakni Rp2.000. Dari tarif tersebut, pengelola hanya mendapatkan Rp1.600 setelah dipotong untuk pajak 20 persen. Pendapat tersebut harus kembali dibagi untuk membayar integrator yang sekitar 1 persen sampai 1,5 persen.

“Makanya kalau ini ditambah lagi buat integrator 1 persen – 1,5 persen buat penggunaan alat bank itu memberatkan,” kata dia.

Sisanya pengelola parkir harus membagi untuk kegiatan operasional dan membayar gaji karyawan. Sehingga, secara tidak langsung proses digitalisasi perparkiran ini dinilai akan mengurangi pendapatan pengelola parkir.

“Banyak beban yang kami tanggung selain potongan dari bank dan integrator, kami terpotong pajak juga,” kata dia.

Untuk itu, adanya dorongan untuk digitalisasi ini seharusnya didukung dengan beberapa keringanan untuk pengusaha. Misalnya dari pengurangan besaran pajak atau besaran integrator.

Irfan mengaku bila pemerintah atau pemerintah daerah memberikan kebijakan yang mempermudah pengusaha, maka proses digitalisasi perparkiran ini akan lebih cepat. Secara pengelolaan kebocoran pendapatan daerah juga kan berkurang.

Sumber: Merdeka.com. Rabu, 24 Februari 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only