JAKARTA. Pemerintah resmi mengumumkan pemberian insentif fiskal berupa pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar. Kebijakan ini diklasifikasikan dalam dua skema.
Pertama, diskon 100% alias bebas PPN untuk harga jual rumah tapak dan rumah susun paling tinggi Rp 2 miliar. Kedua, diskon 50% PPN untuk harga jual rumah tapak dan rumah susun lebih dari Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan sektor properti merupakan salah satu bidang usaha yang mengandung economics bubbles. Harga properti terus mengalami kenaikan/harga di luar kemampuan masyarakat, terlebih tahun lalu daya beli masyarakat melemah.
Alhasil insentif PPN sektor properti hanya berdampak dalam jangka pendek, maka selepas batas akhir berlakunya pemberian insentif yakni hingga Agustus 2021, sektor properti akan kembali runtuh. Sekalipun digelontorkan pada periode kuartal II yang biasanya high season konsumsi rumah tangga.
Menurut Enny, masyarakat kelas menengah yang menjadi market rumah tapak dan rumah susu dengan harga jual maksimal Rp 5 miliar, masih mengutamakan konsumsi untuk kebutuhan pokok. Ini akan terus berlangsung selama pandemi virus corona belum berhasil ditanggulangi.
Apalagi, suku bunga kredit perbankan sebagai instrumen keuangan yang sangat menentukan minat pembeli rumah tak kunjung turun. Sehingga, meski bakal lebih murah 10%, tapi angsuran rumah masih mahal.
Kata Enny sebetulnya kebijakan ini hanya mengkambinghitamkan pandemi sebagai alasan pemerintah memberikan obat pelipur lara bagi sebagian pihak. Karenanya, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi minim yang tidak lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) serta minim menciptakan multiplier effect.
“Sayangnya pemerintah justru kehilangan potensi penerimaan pajak tahun ini. Padahal, pemerintah seharusnya tetap berjuang membiayai belanja dari penerimaan pajak, bukan menggampangkan utang,” kata Enny kepada Kontan.co.id, Senin (1/3).
Enny menilai kesempatan pemerintah untuk menggunakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang dipatok sebesar 5,7% terhadap PDB artinya tidak dimanfaatkan dengan prudent. Seharusnya pemerintah bisa belajar atas realisasi belanja perpajakan pada tahun-tahun sebelumnya yang terbukti tidak efektif.
Menurutnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus bisa menjadi regulator yang mampu menyaring berbagai usulan stimulus fiskal di lingkup Kementerian lainnya. Sehingga keuangan negara tidak korbankan atas kepentingan sepihak.
Sumber : detik.com, Senin 1 Maret 2021
Leave a Reply