Threshold pengusaha kena pajak (PKP) perlu diturunkan untuk kejar penerimaan pajak

JAKARTA. Pengusaha di Indonesia dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) apabila omzet dalam setahun mencapai Rp 4,8 miliar. Sejumlah pihak menilai besaran ambang batas atau threshold PKP itu perlu diturunkan agar makin banyak pundi-pundi penerimaan negara yang bisa diraup.

World Bank dalam laporannya yang bertajuk Indonesia Economic Prospects menyarankan agar Indonesia menurunkan threshold PKP menjadi Rp 600 juta.

Harapannya, basis pajak bisa meningkat baik dari setoran pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dari para korporasi. 

“Langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi rendahnya penerimaan pajak sudah dilakukan, tetapi masih belum cukup untuk meningkatkan tax ratio,” tulis World Bank dalam laporannya yang dipublikasikan pada akhir Juli tahun lalu.

Setali tiga uang, jika threshold PKP diturunkan maka semakin banyak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang naik kelas, sehingga tidak lagi membayar PPh Final sebesar 0,5%, tapi PPh Pasal 25 sebesar 22%. Perluasan basis pajak ini dapat menggenjot penerimaan dan menutup defisit.

Maklum pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tahun 2022 sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun. Angka tersebut naik 8,37% hingga 8,42% dari proyeksi penerimaan perpajakan 2021.

Sayangnya, sampai berita ini diturunkan, Kontan.co.id belum berhasil menghubungi Plt Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka untuk dimintai pendapatnya soal klausul penurunan ambang PKP.

Yang jelas, dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024, pemerintah berencana mengatur ulang batasan PKP, sebagai bentuk perluasan basis pengenaan pajak dan mengoptimalkan PPN. Klausul itu masuk dalam Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Pajak atas Barang dan Jasa. 

Pengamat Pajak Center for Information Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kalau pandemi terus membaik dan ekonomi Indonesia sudah benar-benar pulih di tahun depan, penurunan ambang batas PKP sangat layak.

Toh sebenarnya, berdasarkan laporan the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), banyak negara yg sudah mengambil kebijakan perpajakan yang agresif di awal tahun 2021 meski terbatas. Tujuannya, tentu untuk menutup defisit anggaran akibat pandemi tahun lalu.

“Saya kira, ambang batas PKP dapat diturunkan menjadi Rp 2,5 miliar. Ini sudah memperhitungkan kemampuan wajib pajak WP dan juga otoritas. Jika pemerintah ingin menurun lebih rendah, misalkan Rp 600 juta, pemerintah dapat menggunakan metode simplified metode agar tidak membebani WP,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu, (9/5).

Fajry mengatakan, bila threshold PKP diturunkan maka dampak terhadap ekonomi justru positif, karena penurunan ambang batas PKP mendorong persaingan usaha yang sehat.

Bahkan, menurutnya penurunan ambang batas malah produktivitas perusahaan dan tenaga kerja. Alhasil, Output perusahaan meningkat, dampaknya positif bagi ekonomi.

Menurut Fajry, dengan ambang batas PKP yang berlaku di Indonesia saat ini, perusahaan terdorong untuk berlindung di bawah threshold. “Inilah mengapa, jumlah WP yang berada tepat di bawah ambang batas jumlahnya meningkat signifikan. Ini yang disebut sebagai bunching effect,” kata dia.

Salah satu cara berlindung di bawah ambang batas adalah dengan membatasi omzetnya dalan setahun agar tidak tembus Rp 4,8 miliar. Ketika perusahaan membatasi omzetnya, penggunaan sumber daya perusahaan tidaklah optimal. Dus, dampaknya negatif bagi ekonomi.

“Adanya jumlah WP yang menumpuk tepat di bawah ambang batas PKP di Indonesia, karena ambang batas PKP kita yg terlalu tinggi. Ini buruk bagi ekonomi. Karena salah satu modusnya adalah dengan menahan omzet dalam setahun. Resources perusahaan tidak digunakan secara optimal,” ujar Fajry.

Di sisi lain, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menolak bisa kebijakan itu diterapkan ada dua alasan Ajib.

Pertama, akan memberatkan baik bagi pengusaha maupun bagi konsumen, karena akan berimbas pada naiknya harga barang dan atau jasa. Kedua, pajak UMKM yang akan mendapatkan imbasnya.

Alhasil, Ajib mengatakan apabila UMKM dikukuhkan sebagai PKP berarti memiliki kewajiban memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN. Hal ini menambah pekerjaan administrasi dan butuh SDM tambahan yang mengerti untuk aplikasinya.

“Sudah tambahan beban karena harga tidak lagi kompetitif, ditambah ekstra persoalan menyediakan SDM yang andal untuk operasional hariannya,” kata Ajib kepada Kontan.co.id.

Ajib malah berharap batasan PKP dinaikkan menjadi Rp 10 miliar, karena tahun depan pun ekonomi dalam negeri masih berat bagi pada pelaku usaha.

Sumber : KONTAN.CO.ID, Senin 10 Mei 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only