Mengejar Pajak di Era Digital

Era digitalisasi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan, termasuk bisnis. Potensi ekonomi digital melalui bisnis e-commerce sangat memungkinkan untuk berkembang di Indonesia seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pertambahan jumlah pengguna internet. Berdasarkan data e-Marketer, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 112,6 juta orang orang dan hal ini menyebabkan kegiatan e-commerce cepat berkembang di Indonesia. Tak dapat dipungkiri, nilai transaksi e-commerce di Indonesia telah mencapai Rp 69,8 T pada tahun 2016 dan diprediksi akan menjadi Rp 144 T pada tahun 2018.

Menurut SE-62/PJ/2013, e-commerce adalah perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen (B2C) melalui sistem elektronik. Jenis transaksi e-commerce dapat berupa online marketplace, daily deals, classified ads, dan online retail. Pemerintah melihat bahwa terdapat potensi menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sangat cerah dari maraknya transaksi e-commerce, sehingga dari sisi perpajakan, e-commerce dapat menjadi salah satu potensi pajak yang dapat diterapkan secara terstruktur. Pengenaan pajak telah dijalankan untuk transaksi konvensional, namun setelah munculnya e-commerce yang belum terdapat payung hukumnya, ada semacam gangguan bagi Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) bahwa potensi pajak yang sebelumnya dapat dipungut secara konvensional berubah menjadi online. Maka dari itu, dengan kebijakan perpajakan terhadap transaksi e-commerce ini, pemerintah bermaksud untuk menyetarakan perlakuan perpajakan terhadap seluruh pedagang, terutama konvensional dan nonkonvensional. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan produk pasar lokal, meratakan pasar digital economy Indonesia, meningkatkan partisipasi digital economy, dan mendorong para pelaku usaha memenuhi kewajiban perpajakannya.

Terdapat beberapa asas perlakuan pajak atas transaksi e-commerce, seperti equal treatment, yakni memberikan perlakuaan perpajakan yang sama atas subjek, objek, tarif, dan prosedur antara transaksi e-commerce dan perdagangan lainnya; penyederhanaan kewajiban perpajakan, dimana wajib pajak yang peredaran brutonya sampai 4,8 milyar rupiah dikenakan tarif 1% dari peredaran bruto (PP 46 Th 2013); insentif pajak bagi pelaku usaha, yakni pengurangan tarif PPh sebesar 50% bagi WP badan dalam negeri (UU PPh pasal 31E) dan insentif pajak bagi investor, yakni dengan penghilangan objek PPh untuk laba yang diterima investor dalam modal ventura. Pemerintah juga memastikan bahwa tidak ada pajak baru bagi perdagangan e-commerce, melainkan tetap menggunakan undang-undang yang telah dibentuk, seperti PPn, PPh, KUP, dan UU lainnya. Namun, hanya perlu dibuat sistem yang berbeda terkait pemungutan dan penyetoran pajak agar lebih sederhana dan memudahkan.

Dalam rangka mencapai keberhasilan tujuan kebijakan perpajakan dalam transaksi e-commerce, pemerintah melakukan beberapa kebijakan. Pertama, pemberian level playing field yang sama antar pelaku usaha konvensional dan digital, sesama pelaku usaha digital economy baik yang termasuk dalam UMKM dan non-UMKM, dan para pelaku usaha digital economy dalam negeri dan luar negeri. Kedua, kemudahan perpajakan bagi pelaku usaha e-commerce yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan. Ketiga, pemberian insentif kepada para pelaku usaha e-commerce UMKM dan start-up yang diharapkan dapat merangsang peningkatan usaha melalui digital economy. Keempat, menciptakan sarana tracking data transaksi para pelaku e-commerce untuk memperluas basis data pemajakan. Berbagai regulasi juga dapat diterapkan oleh pemerintah dalam perpajakan e-commerce, selain menggunakan UU PPh, UU PPN, dan UU KUP yang sudah ada, pemerintah juga dapat menerapkan perluasan definisi BUT dengan memberikan justifikasi tentang kedaulatan Indonesia berdasarkan revenue factor/digital factor/user factor. Regulasi lain seperti peraturan anti penghindaran pajak dalam digital economy untuk PPh dan P3B juga dapat diterapkan. Terakhir, penyusunan Perppu atau UU tersendiri terkait e-commerce di luar jenis pajak PPh yang dapat mengatur pelaku usaha dari luar negeri, bisa mengadopsi atau mengadaptasi beberapa contoh peraturan dari luar negeri mengenai e-commerce, dan berkoordinasi dengan kementrian lain, seperti dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) untuk mewajibkan pelaku digital economy dari luar negeri mempunyai badan hukum di Indonesia.

Tentu tidaklah mudah bagi pemerintah dalam mengawasi sistem perpajakan yang diterapkan dalam transaksi e-commerce, ditambah sistem pemungutan pajak yang bersifat self-assessment dan perolehan data nonfisik. Maka dari itu, pemerintah, khususnya Dirjen Pajak sedang melakukan kerja sama dengan beberapa pihak penyedia data, seperti Bank Indonesia dengan National Payment Gateway, yakni sebuah sistem pembayaran nasional yang saling terhubung dan dapat memproses transaksi pembayaran domestik secara aman, optimal, dan efisien sehingga sistem dapat diakses dan digunakan untuk kepentingan perpajakan. Selain itu, pemerintah juga telah siap berintegrasi dengan para pelaku bisnis e-commerce dalam perihal penyediaan aplikasi pajak terpadu melalui program API (Application Program Interface). Pemerintah juga perlu memperkuat koordinasi antar instansi pemerintah dan para pelaku digital economy dalam negeri agar arus dokumen, arus barang, dan arus pembayaran dapat diperoleh secara efektif. Pemerintah juga sedang melakukan kerja sama dengan penyelenggara-penyelenggara media sosial, termasuk para selebriti yang terkait dengan aktivitas e-commerce. Khusus untuk aktivitas endorsement (pemasangan iklan), pemerintah menggunakan pendekatan persuasif dan komunikasi melalui action plan. Pemerintah berharap insitusi penindakan sebisa mungkin dihindari dalam mengawasi aktivitas ini sehingga penyelenggara-penyelenggara media sosial tidak terkejut soal pajak yang dikenakan dan pajak dapat dipungut apa adanya secara wajar.

Indonesia yang telah mengalami digitalisasi ekonomi, membutuhkan digitalisasi juga di bidang perpajakan dalam menyeimbangkannya. Dengan adanya kebijakan perpajakan atas transaksi e-commerce ini, diharapkan hal ini tidak dilihat sebagai beban yang mematikan perusahaan-perusahaan e-commerce, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat digital economy di Indonesia dan sistem perpajakan yang adil dan terintegrasi.

Sumber: Kompasiana.com. Senin, 17 Mei 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only