Tahun depan, tarif pajak korporasi turun, tapi tarif PPN direncanakan naik

JAKARTA. Pemerintah memperkirakan proses pemulihan ekonomi masih berlangsung hingga tahun 2022. Untuk mendukung pemulihan ekonomi, tarif pajak korporasi atau pajak penghasilan (PPh) badan akan diturunkan. Namun, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang merupakan pajak atas konsumsi malah justru akan naik.

Sebagaimana ketentuan di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020, pada tahun 2022, tarif pajak korporasi turun menjadi 20% dari yang berlaku saat ini sebesar 22%. Bahkan untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) ada tambahan diskon tambahan 3% menjadi 17%.

Kebijakan untuk merelaksasi tarif PPh badan tersebut telah berlangsung sejak tahun 2020 dan 2021, setelah sebelumnya dibanderol sebesar 25%.

Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rencana menaikkan tarif PPN dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. Ada dua opsi yang diajukan oleh pemerintah, pertama meningkatkan tarif sampai dengan 15%. Kedua, skema multitarif PPN.

Direktur Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo menyampaikan dua opsi tersebut tengah dikaji oleh pemerintah. Saat ini pihaknya belum menentukan skema PPN yang tepat untuk Indonesia.

Suryo menjelaskan, untuk skema multitarif PPN antara lain terdiri dari pengenaan tarif PPN lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan, pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang mewah/sangat mewah.

Kata Suryo, kebijakan untuk mengubah tarif PPN sejalan dengan langkah pemerintah untuk disiplin fiskal. Sebab, pada 2023 nanti defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus berada di bawah 3% terhadap produk dimestik bruto (PDB).

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan dengan adanya penurunan kembali tarif PPh badan di tahun depan, dampaknya akan meningkatkan profitabilitas perusahaan. Selisih setoran pajak karena adanya penurunan tarif, memberikan ruang korporasi untuk ekspansi.

Alhasil, makin banyak tenaga kerja yang terserap di tahun depan. Lebih lanjut ekonomi akan tumbuh, sehingga mendorong konsumsi. Jika daya beli masyarakat naik, maka setoran PPN akan naik.

Prianto mengatakan, memang dalam rencana kenaikan tarif PPN cenderung polemik. Kebijakan itu dapat menjadi malapetaka bagi ekonomi dalam negeri apabila pemulihan ekonomi tidak sebaik yang diharapkan oleh pemerintah. Pada akhirnya, inflasi akan melonjak dan mengganggu demand hingga supply.

Namun, bila ekonomi dalam negeri tumbuh positif 5,3% di tahun ini dan 5,8% di tahun depan sesuai outlook pemerintah, maka kebijakan kenaikan PPN akan beriringan mendongkrang ekonomi besamaan dengan penurunan tarif PPh badan.

Prianto menyarankan, kebijakan PPN tahun depan yang cukup tepat adalah dengan meningkatkan tarif saat ini, idealnya 12%. Sebab, pemerintah hanya perlu menerbitkan PP mengingat klausul dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tertaik PPN sudah mengisyaratkan bahwa tarif PPN yang berlaku berkisar 5% hingga 15%.

Cara tersebut dinilai lebih sederhana dan bisa mengurangi ongkos politik dibandingkan skema multitarif yang musti sampai merevisi UU Nomor 42/2009. “Kalau PPN jadi 12% sudah cukup win-win solution pilihan terbaik, dengan situasi ekonomi yang belum pasti, kalau 15% terlalu tinggi,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Selasa (18/5).

Sumber: Kontan.co.id. Selasa, 18 Mei 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only