Capaian penerimaan Cukai 2020 tak sebanding dengan penderitaan petani tembakau

JAKARTA. Pemerintah mencatat penerimaan cukai hingga akhir Desember 2020 senilai Rp 176,3 triliun atau tumbuh 2,3% dari tahun sebelumnya. Realisasi ini melebihi target Rp 172,2 triliun.

Capaian tersebut tidak lepas dari kenaikan tarif cukai rokok mulai Januari 2020. Setoran cukai hasil tembakau (CHT) hingga akhir Desember 2020 senilai Rp170,24 triliun atau melebihi target yang ditetapkan Rp 164,94 triliun.

Kendati demikian, kabar baik tersebut tak sebanding dengan dampak kebijakan kenaikan cukai. Ketua umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan, kenaikan cukai tiap tahun yang mencekik ditambah dengan dampak pandemi Covid-19, telah membuat kondisi industri hasil tembakau (IHT) semakin tertekan dan tidak menentu. Dampaknya adalah pada pekerja yang terlibat dalam sektor industri ini.

Menurutnya, penurunan produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan dan tentu daya beli pekerja. Sudarto pun mempertanyakan komitmen pemerintah melindungi warga negaranya sebagaimana mandat Konstitusi.

“Di manakah komitmen Pemerintah untuk melindungi rakyatnya, khususnya pekerja yang menggantungkan penghidupannya dari industri legal ini? Apakah negara sengaja mengabaikan mandat UUD 1945?,” ujar Sudarto dihubungi, Rabu (2/6).

Ia mengatakan, selama ini pemerintah mengandalkan sektor industri hasil tembakau nasional dan pajak hasil tembakau sebagai penerimaan negara. Sedangkan para pekerja IHT juga membutuhkan keberlangsungan bekerja dan penghidupan layak.

Merujuk data resmi, Sudarto bilang dalam 10 tahun terakhir saja, tercatat 60.889 orang yang sudah menjadi tumbal keganasan regulasi yang ketat. Jumlah tersebut lebih besar ditambah para buruh di luar keanggotaan FSP RTMM-SPSI.

“Kami mendesak pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau (IHT),” katanya.

Ekonom senior INDEF, Enny Sri Hartati berpendapat, kebijakan cukai di Indonesia eksesif. Kalau kita lihat jelas sekali bahwa tarif cukai selalu melampaui basis penetapannya, sehingga kesimpulannya tarif kebijakan eksesif. Apalagi di 2020 kemarin, karena di 2019 tidak ada kenaikan, pada 2020 dirapel.

Adapun tujuan cukai untuk pengendalian konsumsi dengan indikator penurunan prevalensi perokok. Enny bilang, jika kita lihat dengan instrumen kenaikan cukai yang eksesif, yang terjadi terbalik, prevalensi perokok bukan menurun tapi malah meningkat.

“Kalau kita hubungkan prevalensinya terus meningkat, padahal pertumbuhan produksi dan penjualan rokok sudah menurun. Kalau dilihat tujuan target cukai adalah pengendalian konsumsi, tapi yang terjadi justru dengan penerapan cukai yang eksesif yang menurun bukan konsumsinya tapi produksinya,” imbuhnya.

Dampak kebijakan cukai yang eksesif akan meningkatkan peredaran rokok ilegal. Merujuk hasil kajian INDEF, Enny mengatakan sebenarnya antara penurunan produksi dengan penjualan masih jauh drastis produksi, penjualannya menurun tidak terlalu drastis.

Artinya demand itu tidak terlalu terjadi penurunan. Yang mengisi kekosongan adalah rokok ilegal yang tidak membayar cukai.

“Ada korelasi antara harga rokok legal dengan peredaran rokok ilegal, begitu rokok legal naik pasti peredaran rokok ilegal naik. Ini artinya, target untuk menurunkan prevalensi perokok tidak tercapai,” tegas Enny.

Berdasarkan simulasinya, diasumsikan kalau ada peredaran rokok ilegal 5%, untuk 2020 potential loss dari penerimaan cukai sudah 4,38 triliun. Padahal data Bea Cukai persentase peredaran rokok ilegal di 2018 adalah 7%, 2017 adalah 10,9% dan sebelumnya di 2016 sebesar 12%, sedangkan di 2020 katanya sekitar 4%.

“Sehingga tadi asumsinya kalau 5% saja potensi kebocoran sudah 4 triliun, kalau 10% seperti hasil penindakan 2017 sudah hampir 10 triliun. Akhirnya kalau kita lihat ini pasti mempengaruhi target penerimaan cukai,” jelasnya.

Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menegaskan, kebijakan kenaikan cukai berdampak pada volume rokok turun. Akibatnya penyerapan tembakau turun. Turunnya penyerapan tembakau sangat dirasakan petani.

Merujuk data resmi DPN APTI, kenaikan cukai tahun 2019, menyebabkan serapan bahan baku (tembakau) lokal sangat merosot tajam sehingga ekonomi petani babak belur. Tahun 2020, di masa pandemi, pemerintah justru membuat aturan yang menghantam petani tembakau.

“Kenaikan cukai 2020, kami tidak bisa memberikan masukan pada pemerintah secara langsung (tatap muka). Kami mau unjuk rasa dihadang. Berkirim surat tidak mempan. Kemudian, visit government juga tidak mempan. Makanya petani itu kadang dari desa ke Jakarta tapi satu tahun ini tidak bisa, sehingga ini dimanfaatkan oleh penentu kebijakan untuk membuat aturan yang tidak pro dengan keadaan pertanian tembakau,” ungkap Agus.

DPN APTI berharap, tahun 2021 ini pemerintah memiliki itikad baik (good will) untuk merumuskan formula kebijakan yang memayungi para pelaku pertembakauan, yakni petani, dan pelaku industri nasional.

“Ini adalah perang ekonomi dan perdagangan, korbannya adalah rakyat pertembakauan. Untuk mengakhiri perang ini, kita harus bersatu, orang-orang yang berdaulat dan tahu kemanusiaan ini dituntut untuk memiliki rasa kemanusiaan untuk menolong penjajahan kemanusiaan ini,” tukasnya.

Sumber : KONTAN.CO.ID, Rabu 2 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only