Pengusaha Menolak RUU KUP

Jakarta, Beritasatu.com – Kalangan pengusaha menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang sedang dibahas di DPR. Lima pasal yang cenderung menaikkan pungutan pajak dinilai tidak tepat karena masih pandemi Covid-19, dan bertentangan dengan UU Cipta Kerja yang bertujuan meningkatkan investasi dan penyerapan tenaga kerja.

“Dari sisi urgensinya, apakah RUU KUP sudah tepat disahkan nantinya di saat kondisi ekonomi kita masih sangat tertekan akibat pandemi Covid-19, ini perlu menjadi pertimbangan sehingga tidak punya dampak psikologi kepada pelaku usaha dan masyarakat. Karena, ada berbagai kewajiban pajak yang akan tertuang dalam RUU ini, jangan sampai membebani pengusaha dan masyarakat sebagai konsumen,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kadin Indonesia Sarman Simanjorang kepada Investor Daily, Rabu (8/9/2021).

Hal itu dikatakannya menyusul rencana pemerintah yang hendak kembali melakukan reformasi pajak, lewat pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke DPR. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengatakan sebelumnya, terhitung sejak 1983 sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah melakukan lima kali reformasi pajak.

Reformasi pajak ini tercatat dilakukan tahun 1983, 1994, 1997, 2000, dan 2020. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada sekitar tahun 1982/1983, penerimaan dalam negeri dalam APBN terbanyak masih disumbang dari sektor migas, sedangkan kontribusi pajak nonmigas baru sekitar 34%. Setelah dilakukan reformasi, kontribusi pajak nonmigas terus meningkat hingga menjadi 66% pada sekitar tahun 1990/1991.

Sementara itu, berdasarkan UU Cipta Kerja yang disahkan tahun 2020, salah satunya memuat mengenai klaster perpajakan. Omnibus law ini mengubah ketentuan dalam empat UU terkait perpajakan, yakni UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Pasal Krusial

Sementara itu, ada lima pasal krusial yang mendapat penolakan dari kalangan pengusaha, yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Yang pertama menyangkut PPN.

Dalam Pasal 7 RUU KUP, pemerintah berencana untuk mengubah ketentuan tarif pajak pertambahan nilai dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12%, dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. Kendati demikian, seperti ketentuan sekarang, pemerintah tetap diberi peluang untuk menurunkan tarif tersebut menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Selain itu, PPN juga dapat dikenakan dengan tarif berbeda dari tarif di atas dengan serendah-rendahnya 5% dan paling tinggi 25%, yang akan diatur melalui peraturan pemerintah.

Yang kedua mengenai pajak penghasilan minimum, yang dalam UU No 6 Tahun 1983 tidak ada ketentuan tersebut. Namun, berdasarkan Pasal 31F RUU, pemerintah mengusulkan pengenaan PPh minimum atau alternative minimum tax (AMT) bagi perusahaan yang merugi, dengan ketentuan PPh tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto. AMT dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.

Ketiga, dalam Pasal 44G RUU, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak karbon atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan dengan tarif Rp 75.000 per kilogram. Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Keempat, dalam Pasal 31F, pemerintah mengusulkan penetapan tarif PPh orang pribadi (OP) sebesar 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Dengan perubahan ini, maka lapisan penghasilan kena pajak bertambah menjadi lima layer dari sebelumnya empat layer.

Kelima, Pasal 44E dalam RUU menghapus sembako dikecualikan dari pengenaan PPN. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja diatur bahwa perubahan Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 masih memasukkan “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak” dikecualikan dari PPN. Daftar kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dipaparkan dalam Penjelasan UU Cipta Kerja adalah beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

Sementara itu, terkait pasal tax amnesty, kalangan pengusaha menyetujuinya. Di sisi lain, beberapa pengamat menyatakan tidak menyetujuinya.

Pengaturan mengenai pengampunan pajak (tax amnesty) ini tercantum dalam Pasal 37B RUU. Yang pertama, program tax amnesty bagi wajib pajak (WP) peserta program tax amnesty tahun 2016-2017 yang belum atau kurang saat mengungkapkan harta bersih dalam surat pernyataan pada program sebelumnya bisa dilakukan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta yang diperoleh para alumni tax amnesty tersebut terhitung sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Peserta program ini dikenai tarif PPh final sebesar 15%, atau 12,5% bagi wajib pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih ke dalam SBN.

Sedangkan program kedua merupakan pengampunan pajak atas harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2019. Syaratnya, masih dimiliki pada 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh OP tahun pajak 2019. Untuk WP atas pengungkapan kekayaan 2016-2019 tersebut dikenai PPh final sebesar 30%, dan 20% jika diinvestasikan dalam instrumen SBN. Mereka juga dibebaskan dari sanksi administrasi pajak.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan sebelumnya, rencana pengampunan pajak tersebut akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang belum patuh. Untuk skema program pertama yang ditujukan bagi para alumni tax amnesty 2016-2017, menurut Hariyadi sudah cukup ideal. Sebab, secara tarif lebih tinggi dibandingkan pengampunan pajak pada lima tahun lalu.

Memberatkan UMKM

Pada kesempatan terpisah, Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) sebelumnya menolak soal rencana penerapan PPN multitarif dan PPH badan minimum 1% dari penghasilan bruto yang masuk dalam RUU tersebut, yang masing-masing ada di Pasal 44E dan Pasal 31F. Penerapan tersebut hanya akan menambah beban peritel.

Dewan Penasihat Hippindo Tutum Rahanta mengatakan, dalam pasal RUU tersebut, PPN dapat dikenakan dengan tarif berbeda dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (3). Tarif berbeda sebagaimana dimaksud itu dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%.

Pengenaan tarif PPN multi tarif akan menyebabkan komplikasi dalam administrasi perpajakan, yang rawan dengan human error, potensi kecurangan, dan menambah beban administrasi. “Ini juga akan menyulitkan perusahaan nantinya dalam menghadapi pemeriksaan perpajakan oleh aparat DJP. Yang ada nanti, di administrasi ini, pengusaha akan bersitegang mulu dengan petugas pajak,” ucap dia kepada Investor Daily.

Dia juga mencontohkan beras yang selama ini tidak dikenakan PPN, baik beras yang dijual di pasar tradisional atau yang diberikan pemerintah melalui Bulog, maupun beras yang dijual di outlet premium supermarket yang sekilo kadang-kadang seperti beras merah harganya bisa Rp 40.000-Rp 45.000. “Kadang-kadang, kalau PPN dikenakan, bisa untuk membeli beras lumayan juga,” ucap Tutum.

Senada, Ketua UKM Indonesia Dewi Meisari Haryanti mengatakan, kenaikan tarif PPh bagi pelaku UMKM menjadi minimum 1% dari penghasilan bruto akan sangat memberatkan. Hal ini akan memengaruhi profit dan biaya operasional UMKM.

“Kenaikan PPh dari 0,5% menjadi 1% akan mengurangi (kemampuan) UMKM, padahal alokasi tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan skala usaha. Dalam kondisi saat ini, UMKM tidak memberhentikan karyawan saja sudah bagus. (Bila) sekarang pemerintah sudah mulai berpikir untuk meningkatkan pajak bagi UMKM, rasanya kok kayaknya gak pas sekali momentumnya,” ucap Dewi.

Penyusunan DIM di Fraksi

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin mengatakan, Komisi XI hingga saat ini belum menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) atas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan kepada pemerintah, karena masih dalam tahap penyusunan oleh masing-masing fraksi. Perkembangan RUU KUP hingga saat ini, lanjut dia, masih dalam pembicaraan tingkat I.

DPR masih meminta masukan dari berbagai pihak terkait draf RUU KUP yang diusulkan pemerintah. Masukan ini kemudian akan menjadi pertimbangan fraksi-fraksi di DPR ketika melakukan pembahasan.

“Untuk DIM, saat ini, masih dalam tahap penyusunan di masing-masing fraksi. Pembahasan baru sampai tahap RDPU, mendengarkan masukan dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan,” tuturnya kepada Investor Daily, Rabu (8/9).

Namun, Putri masih enggan menjelaskan klausul apa saja dalam RUU KUP yang telah disepakati dan yang masih ditolak sehingga perlu pembahasan lebih detail. Ia hanya memastikan bahwa proses pembahasan akan dilaksanakan secara efektif dan seefisien mungkin, dengan tetap memperhatikan ketentuan bahwa jangka waktu pembahasan RUU berlangsung selama maksimal 3 masa sidang.

“Karena belum masuk pembahasan, jadi klausul yang disepakati dan ditolak sepertinya belum relevan untuk dibicarakan sekarang ya. Jangka waktu pembahasan ini dapat diperpanjang, namun bukan berarti kami merencanakan pembahasan yang berlarut-larut,” tandasnya.

Ia mengatakan, Komisi XI DPR tetap melihat adanya urgensi dari RUU KUP sebagai suatu pedoman umum perpajakan, yang harus memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, beleid ini dapat dilaksanakan dengan baik.

“Jadi, fokus DPR adalah untuk memastikan pembahasan RUU dilakukan dengan seksama, cermat, dan efektif. Tentunya, agar UU yang disahkan nanti benar-benar dapat mewujudkan tujuan pembentukannya dan dapat dilaksanakan dengan baik,” tuturnya.

Sosialisasi Kurang

Sedangkan Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid sebelumnya mengatakan, pemerintah jangan dulu memberlakukan pajak karbon di tengah pandemi yang belum usai. Apalagi, PPKM Darurat atau Level 4 yang diberlakukan pada Juli lalu seiring merebaknya penularan Covid-19 varian Delta dan PPKM yang masih diperpanjang juga memperlambat memulihan ekononi nasional.

Sarman menambahkan, rencana kenaikan pajak itu juga akan merugikan perkembangan industri di dalam negeri. “Adanya berbagai kewajiban pajak yang akan tertuang dalam RUU ini, jangan sampai membebani pengusaha dan masyarakat sebagai konsumen. Karena ketika ada kenaikan PPN misalnya, akan dibebankan kepada konsumen, dan dampaknya kenaikan harga berbagai produk industri (yang akan merugikan industri dalam negeri),” imbuhnya.

Masukan para pengusaha tersebut perlu didengar, lanjut dia, karena RUU KUP juga perlu disinkronkan dengan UU yang lain seperti UU Cipta Kerja, yang harus saling menguatkan dalam kerangka pelayanan dan kepastian bagi pelaku usaha. Hal ini terkait erat dengan upaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan investasi.

“RUU KUP harus dibuat dengan narasi yang mampu mendorong kesadaran masyarakat umumnya dan pelaku usaha khususnya, untuk memiliki kesadaran yang tinggi membayar pajak bukan karena ancaman atau sanksi. Jangan sampai terkesan pemerintah hanya mengejar target meraup pajak sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi pelaku usaha, masyarakat, dan edukasi yang harus diberikan,” tandasnya.

Pemerintah dalam kondisi krisis saat ini harus mampu menciptakan kebijakan yang probisnis dan produnia usaha. Dengan demikian, dapat mendorong pelaku usaha mulai dari korporasi sampai UMKM lebih produktif, dan mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, maupun pertumbuhan ekonomi.

“Berbagai masukan yang telah disampaikan pelaku usaha seperti terkait (jangan) menaikkan PPN, PPh, pajak karbon, dan lain-lain agar dapat diakomodasi. Pengusaha dalam memberikan masukan tentu sudah memiliki dasar dan mempertimbangkan dampaknya. Misalnya pajak karbon, tentu akan membebani aneka industri dan akhirnya akan ditanggung konsumen dan akan berdampak (menurunkan) terhadap daya beli masyarakat,” ucapnya.

Sumber: beritasatu.com, Kamis 9 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only