Jakarta, CNBC Indonesia – Revisi atas Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sudah mendekati proses pengambilan keputusan antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat (DPR).
Keseluruhan poin yang diajukan oleh pemerintah masuk dalam pembahasan secara resmi memang tertutup dari publik. Salah satunya kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty yang rencananya dimulai tahun depan.
Akan tetapi bahasa yang digunakan dalam RUU tersebut tidak pengampunan pajak. Melainkan program peningkatan kepatuhan wajib pajak.
“Program yang diajukan oleh pemerintah adalah program peningkatan kepatuhan wajib pajak atau sunset policy atau mandatory aset disclosure,” ungkap Ecky Awal Mucharam, Anggota Komisi XI, Fraksi PKS dalam konferensi pers, Selasa (28/9/2021)
Publik memandang program itu sebagai tax amnesty karena konsep yang hampir sama. Di mana ada orang yang selama ini tidak membayar pajak dengan benar, lalu diberikan kesempatan melaporkan dan dikenakan tarif khusus.
Padahal seharusnya, pengemplang pajak tersebut dikejar, ditangkap dan dikenakan denda atas ketidakpatuhannya.
Apalagi, belum lama, yakni pada 2015 lalu pemerintah juga baru memberikan tax amnesty. Pemerintah dulu berujar, program tersebut tidak akan pernah ada lagi dalam waktu dekat.
“Apapun namanya publik memahami itu tax amnesty jilid II,” tegasnya.
Fraksi PKS mengungkapkan penolakan atas rencana program tersebut. “Kita tidak sependapat dan menolak terkait rencana tersebut kenapa karena jelas ini sesuatu yang ‘aneh’, karena kita sudah keluarkan UU TA di 2015 lalu, masa sih ada lagi program yang semisal sama dengan tax amnesty yang lalu,” papar Ecky.
“Jelas ini menciderai rasa ketidakadilan kita dimana masuk ke dalam tax amnesty ini adalah badan yang memilki penghasilan luar biasa besar,” pungkasnya.
Ketika RUU KUP diserahkan ke DPR, Kemenkeu turut melaksanakan serangkaian kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai kalangan , baik akademisi, pakar hingga kalangan dunia usaha dan pemuka organisasi sosial dan keagamaan.
Khusus mengenai program peningkatan kepatuhan wajib pajak, beberapa kritik dan saran yang disampaikan adalah kebijakan tersebut dipersepsikan seperti pengampunan pajak alias tax amnesty yang berulang. Sehingga berpotensi terjadinya moral hazard.
Selanjutnya, kebijakan itu perlu adanya penguatan penegakan hukum pasca implementasinya, serta besaran tarif yang diharapkan memang tidak lebih rendah dari tarif tax amnesty.
“Pemerintah sangat mengapresiasi seluruh masukan dan secara serius mendengarkan, membahas, serta mempelajarinya untuk menyempurnakan substansi yang telah diusulkan dalam RUU KUP, dan akan menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam pembahasan dengan DPR,” jelas Sri Mulyani.
Ada dua tokoh Indonesia yang menolak dilakukan kembali tax amnesty ini. Adalah Mantan Dirjen Pajak atau Mantan Menteri Koodinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan ekonom senior Faisal Basri.
Kembali dilaksanakannya program ini dinilai bisa menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Darmin menyebutkan, meski program ini diluncurkan dengan nama yang berbeda tetap bisa menurunkan kepatuhan wajib pajak yang selama ini telah taat. Apalagi, pemerintah berkali-kali menekankan bahwa pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali seumur hidup.
“Saya ingatkan bahwa persoalan seperti ini, walaupun tidak disebut Tax Amnesty, akan banyak sekali pengaruhnya pada compliance (kepatuhan) wajib pajak. Artinya, oh kalau gitu pemerintah akan bikin lagi, ngapain ikut?,” jelas Darmin dalam rapat panja RUU KUP bersama Komisi XI.
Darmin menyebutkan bahwa wacana Tax Amnesty jilid II yang tercantum dalam RUU KUP periodenya terlalu panjang, yakni 1985-2015 dan 2015-2019.
“Itu panjang sekali periodenya. Seingat saya di periode 1985 – 2015, tarifnya diberi keringanan. Tentu saja tidak dikenakan denda 15% dan 12,5% kalau diinvestasikan dalam SBN sekurang-kurangnya 5 tahun,” ujarnya.
Sejalan, Faisal Basri menolak kembali dilakukan tax amnesty jilid II karena dianggap hanya akan menguntungkan kelompok yang nakal dan tak taat pajak. Selain itu, ini dinilai sebagai bukti bahwa pemerintah tidak mampu untuk mengejar para pengemplang pajak.
“Ini karena pemerintah takut memburu pembayar pajak yang nakal. Jadi kan harusnya pemerintah menegakkan aturan, memburu pembayar pajak yang tidak benar dan tidak ikut tax amnesty, kenakan denda 100- 200%,” ujarnya.
Ia pun menilai, bahwa rencana ini muncul karena adanya orang kuat yang memaksa pemerintah melakukan kembali program pengampunan pajak. Orang kuat tersebut bisa jadi politikus maupun pengusaha yang ada di lingkaran pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Tapi sangat boleh jadi orang-orang itu orang-orang kuat. Nah oleh karena itu diberikan jalan,” tegas Faisal.
Sumber: CNBC Indonesia, Selasa 28 September 2021
Leave a Reply