Pengenaan Pajak Karbon Jadikan Indonesia Sejajar dengan Negara Maju

JAKARTA, investor.id – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa pengenaan pajak karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara maju di dunia.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan, pajak karbon yang lahir melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.

“Bahkan, implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, diantaranya Inggris, Jepang, dan Singapura”, ungkap Febrio, pekan lalu.

Menurutnya, pajak karbon dalam UU HPP menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu. Sehingga Indonesia dapat disebut sebagai penggerak pertama pajak karbon di dunia.

“Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru (emerging). Ini bukti konsistensi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan, dan berkelanjutan”, kata Febrio Kacaribu.

Apalagi dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024.

Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

“Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, energi, dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission) di 2060 atau lebih awal,”tuturnya.

Untuk mencapai target tersebut, maka agenda reformasi dalam kebijakan fiskal untuk mempercepat investasi hijau telah dimulai secara intensif. Pemerintah telah memberikan

insentif fiskal seperti tax holidaytax allowance, dan fasilitas PPN untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan.

“Dalam 5 tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1% dari APBN. Dari sisi pembiayaan APBN, pemerintah juga telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi,”ujarnya.

Menurutnya, pada tahun ini pemerintah baru saja menerbitkan global green sukuk pertama dengan tenor 30 tahun senilai US$ 750 juta dan SDGs Global Bond senilai Euro 500 juta.

Hal ini menunjukkan tingginya kepercayaan investor hijau atas upaya pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim. Pemerintah juga tengah menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan, termasuk pencapaian NDC dengan melibatkan masyarakat dan swasta.

Untuk memperkuat instrumen kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim, pemerintah menetapkan kebijakan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) yang didalamnya termasuk implementasi pajak karbon.

Febrio menjelaskan, sebagai kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Akan tetapi tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.

“Dalam penerapannya, pemerintah akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19,”tuturnya.

Rencananya pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April 2022 dengan sasaran penerapan pajak karbon di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Penerapan pajak karbon akan dikenakan tarif Rp 30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.

Bahkan, akan dilakukan bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari road-map green economy, untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha, namun tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon.

Prinsip Keadilan

Adapun berdasarkan bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Peripurna (13/10), penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan affordable dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil.

Selain itu, pemerintah juga menyiapkan peta jalan pajak karbon yang nantinya berlaku dua skema, yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).

Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE). Namun, jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

Adapun peta jalan pajak karbon sudah dimulai tahun ini. Ada empat target yang ditetapkan tahun ini, yaitu penetapan RUU HPP, finalisasi Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK), pengembangan mekanisme teknis pajak karbon dan bursa karbon, serta piloting perdagangan karbon di sektor pembangkit oleh Kementerian ESDM dengan tarif Rp 30.000 per ton CO2.

Sementara untuk tahun depan, pemerintah menargetkan mampu menyelesaikan penetapan cap untuk sektor pembangkit listrik batu bara. Kendati demikian, cap yang berlaku untuk penerapan pajak karbon tahun depan masih memakai cap pada saat piloting tahun ini.

Pemerintah menargetkan pajak karbon akan berlaku secara penuh pada 2025 melalui bursa karbon. Ini ditandai dengan perluasan sektor pemajakan pajak karbon secara bertahap tergantung kesiapannya dan penetapan aturan pelaksana tata laksana pajak karbon.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only