Ada UU HPP, Pemerintah Yakin Rasio Pajak Tembus 10,12 Persen di 2025

Pemerintah melakukan reformasi perpajakan melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. Dengan harmonisasi ini, pemerintah yakin tax ratio atau rasio pajak Indonesia bisa meningkat di 2022.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dengan adanya harmonisasi perpajakan, peningkatan tax ratio terhadap PDB 2022 diprediksi sebesar 0,8 persen atau menjadi 9,22 persen PDB dan 10,12 persen di 2025. Sementara bila tak dilakukan reformasi, maka rasio perpajakan akan stagnan hingga 2025 di kisaran 8,4 persen hingga 8,6 persen PDB.”Kita meyakini bahwa Undang-undang HPP ini akan meningkatkan penerimaan perpajakan akan meningkatkan tax ratio,” ujar Suahasil dalam webinar TaxPrime, Kamis (11/11).”Dengan undang-undang HPP kita mengharapkan bahwa akan ada peningkatan tax ratio sekitar 0,8 persen dari PDB. Ini adalah peningkatan yang menurut Kami masih bisa diserap oleh perekonomian karena memang peningkatan ini kita perlukan,” tambahnya.Saat ini tax ratio Indonesia, kata dia, masih rendah bila dibanding negara tetangganya. Adapun target rasio pajak tahun ini sebesar 8,25 persen terhadap PDB.

“Indonesia masih tetap tergolong negara yang tax rasionya rendah di antara peer grupnya. Dengan demikian kita berharap undang-undang HPP ini nanti akan benar-benar bisa kita jalankan,” tuturnya.Dirjen Pajak Suryo Utomo juga mengatakan, UU HPP memiliki tujuan untuk memperbaiki aturan perpajakan, memperluas basis pajak, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak agar tercipta penerimaan pajak berkelanjutan. “Diharapkan pada tahun 2023 tingkat defisit pembiayaan kembali ke 3 persen dari PDB, meningkatkan pertumbuhan, dan mendukung percepatan peningkatan perekonomian,” jelas Suryo.Dia menyebutkan beberapa hal yang diatur dalam UU HPP. Pertama, mencakup nomor induk kependudukan (NIK) yang akan menjadi nomor pokok wajib pajak (NPWP), penurunan sanksi pada saat pemeriksaan dan upaya hukum, mengenai kuasa wajib pajak penegakan hukum pidana pajak yang mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara, serta aspek pajak internasional berupa asistensi berupa penagihan pajak global, Mutual Agreement Procedure (MAP), dan konsensus pemajakan global.

Kedua, perubahan PPh untuk memberikan kesetaraan kepada wajib pajak. Ketiga, perubahan PPN mencakup perubahan tarif, simplifikasi pemungutan dan penataan ulang fasilitas perpajakan yang diberikan. Keempat, pengaturan terhadap pajak karbon sebagai pajak eksternalitas untuk menjaga kelestarian alam. Kelima, pengaturan kembali objek cukai. Keenam, penerapan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II.“Perumusan UU HPP diharapkan dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Dengan begitu akhirnya diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia,” kata Suryo.Sementara itu, Dirjen Pajak 2017-2019 Robert Pakpahan yang juga Senior Advisor TaxPrime, menyatakan bahwa UU HPP juga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia pun optimistis perekonomian akan jauh lebih baik didukung dengan kinerja ekspor yang kuat, pembukaan sektor-sektor prioritas yang semakin luas yang diiringi dengan stimulus kebijakan yang berlanjut.

“Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kementerian Investasi/BKPM telah bekerja keras melakukan langkah-langkah inovatif dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, terutama pada kegiatan ekspor-impor dan investasi,” kata Robert.Tak hanya itu, otoritas pajak juga telah mengguyur sejumlah insentif perpajakan, seperti insentif super-deduction yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019. PP ini mengatur dua hal, pertama pengurangan penghasilan bruto bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pendidikan vokasi paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Kedua, kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) dari paling tinggi 100 persen dari kegiatan yang digunakan.“Kebijakan super-deduction ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing industri nasional, mendorong industri berbasis teknologi, serta mempercepat industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0,” kata dia.

Selain itu, super-deduction juga dinilai dapat menjadi solusi mitigasi sengketa perpajakan terkait transfer pricing, khususnya bagi multinasional enterprise.“Dengan memanfaatkan fasilitas super-deduction ini multinasional enterprise dapat merealokasikan fungsi aset dan risiko atas kegiatan litbang dan pelatihan ke Indonesia,” kata Robert.

Sumber : Kumparan Bisnis

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only