Menanti Besaran Alokasi Pengembangan EBT dari Penerimaan Pajak Karbon

Komisi VII DPR meminta agar sebagian besar dari hasil penerimaan pajak karbon yang akan berlaku mulai April 2022 dialokasikan untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.

Anggota Komisi VII dari Fraksi PKS Diah Nurwitasari mengatakan bahwa pendapatan negara dari pajak karbon harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Saya setuju bahwa pendapatan dari pajak karbon ini harus paling tidak sebagian besarnya harus diinvestasikan kembali untuk pengembangan energi baru terbarukan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Rabu (17/11). Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan pengenaan pajak karbon US$ 1 dolar per ton, pendapatan negara akan bertambah Rp 76,49 miliar. Namun BPP tenaga listrik naik menjadi Rp 76,49 miliar.

Naiknya BPP listrik kemudian berdampak pada penambahan subsidi listrik sebesar Rp 20,46 miliar dengan kompensasi sebesar Rp 61,38 miliar sehingga totalnya menjadi Rp 81,84 miliar. Dengan potensi tersebut, harus ada transparansi kebijakan dari segala upaya pemerintah dalam menghadirkan program tersebut.

Pada penerapan pajak karbon, pemerintah baru akan mengenakan pungutan ke operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara. Artinya, tidak langsung ke banyak sektor yang menghasilkan karbon. Rencananya, tarif pajaknya sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) mulai 1 April 2022. Pajak akan dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan.

Sementata itu, Anggota Komisi VII DPR RI Arkanata Akram menekankan perlu ada kajian mendalam serta penerangan lebih lanjut terkait fungsi dan alokasi dana dari pajak karbon. Dia juga sepakat jika pajak karbon seharusnya digunakan untuk meningkatkan penggunaan EBT di Indonesia.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menambahkan bahwa pajak karbon itu bukan pendapatan negara, namun nantinya akan dikembalikan lagi untuk mengatasi sejumlah permasalahan lingkungan.

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai ada beberapa catatan yang perlu digaris bawahi soal mekanisme pajak karbon. Misalnya, hanya dengan membayar pajak karbon, perusahaan merasa telah andil dalam pengurangan emisi.

Padahal pencemaran yang dilakukan terus jalan, emisi karbonnya tetap naik. Kemudian terkait penggunaan hasil pajak karbon juga harus transparan. Peruntukannya harus jelas meski bentuknya pajak bukan cukai.

Hasil studi Fraser institute menunjukkan sebanyak 74% penggunaan dana hasil pajak karbon di berbagai negara justru lari ke belanja umum yang tidak berkorelasi dengan penurunan emisi karbon. Hanya 12% penerimaan pajak karbon yang dialokasikan khusus untuk lingkungan hidup.

Dalam UU HPP bab Pajak Karbon terdapat klausul “Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim”. “Kata ‘dapat’ itu bisa jadi pasal karet yang sangat fleksibel. Misalnya hanya 10% untuk earmarking subsidi ke EBT sudah dianggap memenuhi syarat UU HPP. Jadi sangat longgar,” kata Bhima.

Oleh sebab itu, dia mengimbau agar masyarakat mengawasi implementasi dari kebijakan ini. Mengingat masih ada celah penerimaan pajak karbon dialokasikan untuk sektor yang tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi.

Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menilai penerapan pajak karbon diharapkan akan mendorong pemanfaatan EBT. Meski demikian, besaran alokasi untuk pengembangan EBT dari hasil pajak karbon masih dalam tahap pembahasan. “Masih akan dibahas di Pemerintah,” kata Dadan kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu, Selasa (12/10).

Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan pajak karbon menjadi salah satu alat untuk mengarahkan masyarakat Indonesia kepada aktivitas yang lebih ramah lingkungan atau rendah karbon.

Saat ini pemerintah tengah menyusun peraturan turunan tentang pajak karbon yang didasarkan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “UU HPP merupakan gambaran besar dan pemerintah saat ini sedang menyusun aturan turunannya baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan yang diharapkan jadi dasar penerapan pajak karbon 1 April 2022,” kata Pande.

Sumber : Katadata.co.id 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only