Peserta Tax Amnesty Ikut PPS, Menkeu: Kesempatan Hindari Sanksi 200%

Program pengungkapan sukarela (PPS) menjadi kesempatan yang baik bagi peserta tax amnesty 2016/2017. Hal tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (22/11/2021).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty, PPS menjadi kesempatan yang baik untuk mengungkap semua harta yang belum dilaporkan. Apalagi, ada ancaman sanksi 200%.

“Sehingga ini kesempatan kalau Anda ingin menghindari sanksi yang 200% dengan masuk di program pengungkapan sukarela ini,” ujarnya.

Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), wajib pajak peserta tax amnesty yang mengikuti PPS pada skema kebijakan I (perolehan harta 1 Januari 1985—31 Desember 2015) tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak.

Adapun dalam Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak disebutkan atas penghasilan yang belum atau diungkapkan dalam surat pernyataan pengampunan pajak dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.

Selain mengenai PPS ada pula bahasan terkait dengan rencana aturan turunan dari UU HPP. Ada pula bahasan tentang pajak atas natura.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Tidak Mendekati Tenggat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan selain peserta tax amnesty, PPS dapat diikuti wajib pajak orang pribadi yang belum mengikuti tax amnesty untuk harta perolehan 2016-2020 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2020.

Pemerintah akan menyelenggarakan PPS selama 6 bulan, mulai 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022. Nantinya, peserta PPS akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final yang tarifnya berbeda-beda tergantung pada perlakuan wajib pajak terhadap harta yang diungkapkan.

Sri Mulyani meminta wajib pajak tidak perlu berpikir terlalu panjang untuk mengikuti PPS. Menurutnya, ada risiko gangguan sistem jika baru mengikuti PPS menjelang tenggat. “Saya harap tidak menunggu sampai tanggal 29 Juni,” kata Sri Mulyani. (DDTCNews)

Pemeriksaan Pajak

Ditjen Pajak (DJP) menegaskan harta yang disampaikan dalam PPS tidak akan diperiksa. Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan ketentuan tersebut telah diatur dalam UU HPP. Meski demikian, DJP tetap dapat melakukan pemeriksaan terhadap harta yang belum disampaikan dalam PPS.

“Undang-undang yang memberikan garansi, bukan saya. Jadi, yang betul-betul tidak dilaporkan itu yang menjadi objek pemeriksaan berikutnya,” katanya.

Suryo mengatakan UU HPP menyebut DJP tidak akan melakukan pemeriksaan setelah wajib pajak mengikuti PPS, kecuali apabila ditemukan harta yang belum disampaikan. Oleh karena itu, dia mengajak wajib pajak langsung menyampaikan semua hartanya ketika PPS berlangsung.

43 Aturan Turunan

Pemerintah akan menyiapkan setidaknya 43 aturan turunan atau pelaksana untuk mendukung implementasi UU HPP.

Aturan pelaksana yang dimaksud antara lain 8 peraturan pemerintah (PP) dan 35 peraturan menteri keuangan (PMK). Sosialisasi pun diselenggarakan agar pemerintah dapat menyerap aspirasi wajib pajak atas peraturan-peraturan turunan tersebut.

“Sosialisasi kepada para pengusaha asosiasi juga dilakukan sembari menyerap aspirasi untuk penyusunan aturan pelaksanaan dari UU HPP,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.

Pajak atas Natura

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan fasilitas-fasilitas yang diterima karyawan dari pemberi kerja seperti laptop dan ponsel tidak akan dipajaki.

Melalui UU HPP, natura dan kenikmatan yang dianggap sebagai objek pajak adalah fasilitas-fasilitas yang diterima oleh segmen tertentu dan luar biasa besar sehingga adil untuk dianggap sebagai penghasilan dan dikenai pajak.

“Ini yang sering judulnya ‘semua fasilitas kantor dipajaki’, itu salah. Kita hanya memberikan suatu threshold tertentu. Kalau pekerja dapat fasilitas laptop masa dipajaki? Kan enggak begitu,” ujar Sri Mulyani. (DDTCNews/Kontan)

Pemerintah Atur Perincian Natura

Pemerintah akan memerinci ketentuan mengenai pengakuan natura sebagai penghasilan bagi penerima dan biaya bagi perusahaan yang memberikan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan nantinya natura yang diakui sebagai biaya bagi perusahaan harus mendapatkan perlakuan yang sama di sisi penerima natura.

“Misalkan dapat mobil, biaya perawatan dan penyusutan misalkan 1 tahun itu Rp100 juta maka nilai itu yang diakui sebagai penghasilan bagi penerima fasilitas,” ujar Yon.

Piutang Tak Tertagih

DJP menyebut UU HPP mengatur pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang tak tertagih dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan cadangan piutang tak tertagih dapat dibebankan sebagai biaya atas beberapa pencadangan yang dilakukan. Saat ini, DJP tengah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai ketentuan cadangan piutang tak tertagih tersebut.

“Kami berkoordinasi dengan beberapa pihak, tidak hanya dengan internal Kementerian Keuangan, tetapi juga Otoritas Jasa Keuangan,” katanya.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only