DJP Mulai Pertajam Pengawasan, WP OP Bisa Bebas Sanksi Tak Lapor SPT

Dirjen Pajak menerbitkan Surat Edaran (SE) No. SE-05/PJ/2022 yang mengatur tentang pengawasan atas kepatuhan wajib pajak. Kabar ini menjadi bahasan paling popoler oleh netizen sejak awal pekan ini.

SE yang ditetapkan pada 10 Februari 2022 ini menggabungkan dan menyempurnakan sejumlah ketentuan yang diterbitkan melalui surat edaran sebelumnya.

Penyempurnaan yang dilakukan dalam SE ini antara lain terkait penajaman proses bisnis pengawasan, pengakomodasian perkembangan teknologi informasi, dan penyelarasan dengan proses bisnis lain termasuk pemeriksaan, intelijen, hingga penegakan hukum.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, SE-05/PJ/2022 mengatur proses bisnis pengawasan kepatuhan wajib pajak menggunakan pendekatan end-to-end yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, pemantauan, dan evaluasi pengawasan.

Dari surat edaran tersebut, DJP berharap pengawasan yang komprehensif guna mewujudkan kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan dan mendukung pencapaian penerimaan pajak yang optimal dapat tercipta.

Secara umum, SE-05/PJ/2022 mengatur tentang perencanaan pengawasan, pelaksanaan pengawasan, tindak lanjut pengawasan, hingga pemantauan pengawasan.

Berita selanjutnya yang cukup banyak mendapat sorotan warganet adalah terkait dengan ketentuan wajib pajak orang pribadi yang bisa bebas dari sanksi meski tidak lapor SPT Tahunan.

Seperti diketahui, wajib pajak orang pribadi harus menyampaikan SPT Tahunan kepada DJP paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak. Bila wajib pajak orang pribadi tak menyampaikan SPT Tahunan hingga batas waktu yang ditentukan, terdapat denda sebesar Rp100.000 yang harus dibayar wajib pajak tersebut. Adapun pengenaan denda ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Namun demikian, terdapat beberapa wajib pajak dengan kriteria tertentu yang bisa terbebas dari pengenaan denda meski tidak menyampaikan SPT Tahunan hingga batas akhir yang telah ditentukan.

Sanksi administrasi berupa denda tidak diterapkan apabila wajib pajak orang pribadi meninggal dunia; sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; atau telah menjadi warga negara asing (WNA) dan tidak tinggal di Indonesia.

Sanksi denda juga tidak dikenakan bila wajib pajak terkena bencana. Adapun bencana yang dimaksud adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

Selain kedua berita di atas, masih ada sejumlah isu menarik yang ramai diperbincangkan pembaca DDTCNews. Berikut ini adalah 5 artikel terpopuler sepanjang pekan ini yang sayang untuk dilewatkan:

1. Saluran e-SPT Bakal Ditutup, WP Tak Perlu Pembetulan Jika Sudah Lapor
DJP memastikan wajib pajak yang sudah melaporkan SPT Tahunan lewat aplikasi e-SPT tidak perlu melakukan pembetulan setelah saluran tersebut ditutup. Seperti diketahui, DJP memutuskan menyetop saluran pelaporan SPT melalui e-SPT.

“Untuk SPT yang sudah dilaporkan sebelumnya apabila pengisiannya sudah sesuai tidak perlu melakukan pembetulan,” tulis akun @kring_pajak dalam cuitannya di Twitter.

Akun media sosial DJP tersebut merespons sebuah akun yang menanyakan penutupan akses pelaporan SPT lewat e-SPT. Pemilik akun @nzrhnf87 bertanya mengenai keabsahan pelaporan SPT apabila wajib pajak badan sudah telanjur melaporkannya lewat e-SPT.

“Apakah perlu pembetulan atau tidak,” tanya akun tersebut.

Sebelumnya otoritas pajak mengumumkan rencana penutupan saluran pelaporan SPT melalui aplikasi e-SPT (SPT elektronik dalam bentuk ‘.csv’). Penutupan saluran pelaporan SPT Tahunan melalui aplikasi e-SPT dilakukan secara bertahap.

Pertama, penutupan untuk jenis formulir SPT 1770 S, 1770, dan 1771 pada 28 Februari 2022 pukul 16.00 WIB. Kedua, jenis formulir SPT PPh Badan dalam satuan mata uang dolar AS (1771 $) dan lampiran khusus wajib pajak migas pada 30 Maret 2022 pukul 15.00 WIB.

Sebagai tindak lanjut penutupan saluran pelaporan SPT lewat aplikasi e-SPT, pelaporan SPT Tahunan secara elektronik bisa dilakukan melalui aplikasi e-form dan e-filing yang bisa diakses melalui menu login laman www.pajak.go.id.

2. Wajib Pajak Ramai Tanyakan Pelaporan Omzet UMKM, Begini Respons DJP
Akun media sosial Twitter milik DJP panen pertanyaan dari wajib pajak orang pribadi UMKM mengenai pelaporan omzet mereka.

Pertanyaan tersebut misalnya ditanyakan akun @wijaya_verawaty. Dia menanyakan tata cara pelaporan omzet, seperti yang diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Apakah sudah terbit aturan/cara untuk melaporkan omzet bulanan bagi pelaku UMKM sesuai UU HPP mulai tahun 2022 ini? Mohon infonya, terima kasih,” bunyi cuitan @wijaya_verawaty.

Pertanyaan senada juga disampaikan akun @RVGembor. Dia menanyakan mekanisme pelaporan omzet UMKM karena kewajiban itu tidak bisa dilakukan melalui aplikasi M-Pajak.

Memperoleh pertanyaan-pertanyaan tersebut, akun @kring_pajak DJP kemudian memberikan penjelasannya. DJP menjelaskan perubahan ketentuan pajak penghasilan (PPh) dalam UU HPP mengatur batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta pada UMKM mulai tahun pajak 2022.

Dengan ketentuan tersebut, wajib pajak orang pribadi UMKM yang omzetnya hingga Rp500 juta dalam setahun tidak perlu membayar PPh final yang tarifnya 0,5%. Adapun jika UMKM tersebut memiliki omzet melebihi Rp500 juta, penghitungan pajaknya hanya dilakukan pada omzet yang di atas Rp500 juta.

Namun, pemerintah belum menerbitkan ketentuan teknis untuk melaksanakannya. DJP kemudian menyarankan wajib pajak orang pribadi untuk berkonsultasi dengan kantor pelayanan pajak (KPP) terdaftar.

“Untuk ketentuan teknis pelaporan omzet lebih lanjut, masih menunggu aturan turunannya terbit. Karena belum ada aturan turunannya, Kakak dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu ke KPP terdaftar,” bunyi cuitan akun @kring_pajak.

3. Wajib Pajak Diminta Laporkan Harta PPS Sedetail Mungkin, Ini Alasannya
DJP mengimbau kepada wajib pajak peserta Program Pengungkapan Sukarela (PPS) untuk mencantumkan daftar harta pada surat pemberitahuan pengungkapan harta (SPPH) seterperinci mungkin.

Makin terperinci daftar harta yang dicantumkan wajib pajak pada SPPH, potensi wajib pajak mendapatkan surat klarifikasi dari DJP makin minim.

“Kami sangat menghargai bila itu diperinci, yang adalah penting jumlahnya benar,” ujar Kasubdit Penyuluhan Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Inge Diana Rismawanti.

Sebagai contoh, bila wajib pajak memiliki harta berupa kas yang tersebar di berbagai rekening, wajib pajak sebaiknya mencantumkan fakta tersebut pada kolom keterangan.

Bila DJP mendapatkan data dan informasi dari perbankan dan wajib pajak telah melaporkan harta secara detail secara lengkap, maka potensi terbitnya surat klarifikasi dapat diminimalisasi.

“Kalau tidak disebutkan, kemungkinannya seperti itu ‘wah ini jangan-jangan belum lapor semua nih’. Kami akan melakukan klarifikasi apabila ditemukan hal seperti itu,” ujar Inge.

4. DJP Awasi Wajib Pajak Berdasarkan Wilayah, Bisa Berujung Pemeriksaan
DJP kembali melanjutkan strategi pengawasan wajib pajak berdasarkan kewilayahan sebagai upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pada tahun ini.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan pengawasan berbasis kewilayahan dilakukan oleh kantor pelayanan pajak (KPP) Pratama.

“Pengawasan ini terhadap wajib pajak ber-nomor pokok wajib pajak (NPWP) selain wajib pajak strategis, instansi pemerintah, joint operation, PPJK serta cabang tanpa pusat, dan wajib pajak belum ber-NPWP,” kata Neilmaldrin.

Adapun pengawasan berbasis kewilayahan dilakukan melalui 3 tahapan. Pertama, assignment wilayah kepada Seksi Pengawasan di KPP Pratama.

Kedua, assignment wajib pajak kepada masing-masing account representative (AR) sesuai zona pengawasannya. Ketiga, DJP menindaklanjuti dengan melaksanakan kegiatan pengawasan.

5. Wajib Pajak Tak Tanggapi SP2DK, Kepala KPP Bisa Ambil 3 Tindakan Ini
Wajib pajak yang menerima Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) diminta untuk memberikan tanggapan, baik secara langsung maupun secara tertulis.

Batas waktu yang diberikan untuk menanggapi SP2DK ditetapkan selama 14 hari setelah SP2DK dikirim. Apabila wajib pajak tidak memberi tanggapan, kepala KPP dapat mengambil 3 tindakan sebagaimana diatur dalam Surat Dirjen Pajak No. SE-39/PJ/2015.

“Dalam hal wajib pajak tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 14 hari setelah SP2DK dikirim atau disampaikan langsung oleh KPP, Kepala KPP berwenang menentukan salah satu dari 3 keputusan atau tindakan…” bunyi SE-39/2015.

Merujuk pada SE-39/PJ/2015, terdapat ketiga tindakan atau keputusan yang bisa diambil kepala KPP tersebut. Pertama, memberikan perpanjangan jangka waktu permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak.
Kedua, melakukan kunjungan (visit) kepada wajib pajak. Ketiga, mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan.

6. Debat Pajak: Kendaraan Bekas Bukan Objek BBNKB, Beri Komentar dan Rebut Hadiahnya!
DDTCNews kembali menggelar Debat Pajak. Kali ini isu yang diangkat terkait kendaraan bermotor bekas yang tidak lagi jadi objek bea balik nama kendaraan bermotor BBNKB. Ketentuan baru ini sudah diatur dalam UU HKPD.

Lantas, bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju penyerahan atas kendaraan bermotor kedua dan seterusnya dikecualikan dari BBNKB? Berikan pendapat Anda dalam kolom komentar.

Sebanyak 2 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel ini dan telah menjawab beberapa pertanyaan dalam survei akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan uang tunai senilai total Rp1 juta (masing-masing pemenang Rp500.000).

Penilaian akan diberikan atas komentar dan jawaban yang masuk sampai dengan Selasa, 22 Februari 2022 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Jumat, 25 Februari 2022.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only