Pajak Karbon Bakal Jadi Subsidi Baru untuk Masyarakat Kelas Bawah

Penerapan pajak karbon dinilai ampuh untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam hal mengakses energi.

Senior Associate Lead Energy Taxation International Institute for Sustainable Development, Tara Laan mengatakan, masyarakat kelas menengah ke bawah berada di posisi paling rentan ketika harga energi melonjak, khususnya energi listrik.  

Tara menjelaskan, pada dasarnya sebagian besar pajak karbon ditarik dari konsumsi bahan bakar atau konsumsi barang masyarakat menengah ke atas. Sumber pendapatan negara ini seharusnya dapat digunakan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat rentan.

Menurut dia, Pajak energi menyebabkan tarif yang lebih tinggi pada mereka yang menggunakan energi paling banyak. Dengan demikian, lumbung pendapatan diperoleh dari kelompok berpenghasilan tinggi. Sebaliknya, mayoritas orang miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan energi.

Menurutnya, kelompok berpenghasilan rendah memiliki dampak yang lebih dalam pada pengeluaran rumah tangga akibat biaya energi, baik listrik, transportasi, dan keperluan energi dapur.

“Hasil pajak karbon dapat diarahkan ke kelompok berpenghasilan rendah. Idealnya, ini dilakukan dengan mengurangi tarikan pajak masyarakat miskin,” paparnya dalam Katadata IDE 2022, Jumat (8/4).

Lebih lanjut, kata Tara, jika penerapan pajak karbon diberlakukan secara luas, maka akan berpotensi menaikkan harga energi. Artinya, selain harus membeli energi untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat harus menguras kocek lebih dalam untuk membayar pajak karbon dari hasil pemakaian energi yang mereka beli.

Masih menurut Tara, Pemerintah dapat langsung menggunakan pendapatan dari pajak karbon untuk berinvestasi langsung dalam infrastruktur energi bersih. Hal ini diharap mampu mengamankan aksesibilitas energi yang dapat memberikan alternatif kepada konsumen.

“Jadi ketika harga bahan bakar fosil naik, mereka punya sesuatu untuk dialihkan, terutama penting untuk memberikan bantuan untuk memasak bersih, karena tentu kita tidak ingin orang beralih kembali ke biomassa, yang jelas sangat tidak sehat,” ujarnya.

Senada dengan Tara, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan, apabila kebijakan pajak karbon telah diberlakukan, maka penerimaan pajak karbon bisa bermanfaat untuk dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan dan memberikan bantuan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

“Sebagai stimulus untuk transisi ekonomi hijau yang berkelanjutan,” kata Dadan.

Dadan menambahkan, tarif pajak karbon yang ditetapkan Rp 30 per kilogram atau Rp 30.000 per Ton CO2. Penerapan ini diharap dapat terlaksana pada tahun ini di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Selanjutnya, implementasi dan perluasan pajak karbon akan dilaksanakan pada 2025.

Hal ini sejalan dengan kebijakan energi nasional dari transisi energi fosil ke energi bersih yang minim emisi. Pada tahun 2030, Sektor energi Indonesia ditagerkan dapat menurunkan emisi sejumlah 314 juta sampai 446 juta ton CO2.  

Harapan tersebut ditunjang dengan kebijakan pengurangan PLTU dengan tidak ada penambanhan serta PLTU yang ditarget akan berhenti beroperasi pada 2056.

Dalam proyek ini, Indonesia harus menyediakan dana sebesar US$ 1.042 miliar untuk mencapai kapasitas terpasang energi baru dan terbarukan sebesar 587 Giga watt pada 2060.

“Pengurangan energi fosil secara bertahap dan mendorong elektrifikasi kendaraan bermotor dan rumah tangga.

Sumber : katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only