Membedah APBN Jokowi 2023 yang Nilainya Nyaris Rp 3.000 T

Tahun ini adalah tahun terakhir bagi pemerintah Indonesia untuk bisa fleksibel dalam menggelontorkan fiskal. Sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020, defisit APBN harus kembali di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023.

Pemerintah pun dituntut untuk mengakselerasi penerimaan negara yang diiringi dengan penghematan belanja. Namun, pemerintah optimistis di tengah pertumbuhan ekonomi yang belakangan dalam tren positif, tahun depan pertumbuhan ekonomi bisa menyentuh 5,3% hingga 5,9%.

Apakah cukup realistis?

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, salah satu prioritas belanja pemerintah pada infrastruktur yang dianggarkan sebesar Rp 367 triliun sampai Rp 402 triliun, diharapkan bisa menjadi multiplier effect untuk perekonomian.

Meskipun, kata David ada kekhawatiran defisit APBN pada 2023 ditargetkan Rp 562,6 triliun – Rp 596,7 triliun atau 2,81% – 2,95% dari PDB, namun mobilitas masyarakat sudah mulai bergeliat lagi. Artinya, masih ada harapan untuk perekonomian RI tahun depan, asalkan penularan Covid-19 bisa tertangani dengan baik.

“Saya melihat mobilitas semakin bagus, sektor konsumsinya akan semakin naik. Sektor konsumsi itu kan sekitar 60% dari PDB, pasti dominan mempengaruhi pemulihan kita,” jelas David kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (19/4/2022).

Pertumbuhan kredit, menurut David juga diperkirakan akan lebih baik di tahun depan, karena pandemi mulai mereda. Secara keseluruhan ekonomi, mulai pertengahan tahun ini dan tahun depan mulai relatif baik.

Hanya saja, harga-harga yang diatur pemerintah atau administered prices harus tetap stabil. Memang tersiar ada rencana dari pemerintah akan ada penyesuaian harga untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, LPG 3 kg, dan tarif listrik.

“Jangan sampai penyesuaiannya membuat shock ekonomi, harus dilakukan secara bertahap,” tuturnya.

Dalam APBN 2023, pemerintah juga menargetkan penerimaan negara sebesar Rp 2.255,5 triliun – Rp 2.382,6 triliun, serta belanja sebesar Rp 2.818,1 triliun – Rp 2.979,3 triliun.

Pertumbuhan penerimaan pada tahun depan naik 22% – 29% dari target APBN 2022. Menurut David, penerimaan tahun depan masih akan disokong dari harga komoditas yang masih tinggi. Mengingat, berbagai negara Eropa telah berseru untuk tidak melakukan impor batu bara dari Rusia dan Indonesia sebagai negara eksportir batu bara diharapkan bisa menyambut pasar dari Eropa.

“Sehingga pemerintah masih ada windfall dari komoditas. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan naik. Seperti tahun lalu juga PNBP yang membuat anggaran kita defisitnya masih rendah,” jelas David.

Kendati demikian, David mewanti, tidak selamanya Indonesia bisa bergantung terhadap volatilitas harga komoditas. Pemerintah diharapkan bisa menemukan berbagai sumber pertumbuhan ekonomi.

“Bagaimana bisa mendiversifikasi sumber pertumbuhan atau mencari sumber pertumbuhan baru. Setelah infrastruktur kita akan coba menggaet investasi. Meskipun tahun lalu terganggu karena pandemi, mulai sekarang bisa mulai kembali genjot dan promo untuk menaikan investasi supaya lebih kuat dalam domestik dan asing,” jelas David.

Kendati demikian, penerimaan negara yang tumbuh 20% pada tahun depan tersebut, dinilai sangat ambisius. Pasalnya dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan negara belum pernah mencapai angka setinggi itu.

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, pada 2018 misalnya, pertumbuhan penerimaan negara mencapai 14,3% atau tumbuh double digit. Namun, di tahun tersebut pertumbuhan negara juga masih disumbang dari windfall harga komoditas yang tinggi.

“Begitu pun di tahun lalu. Jadi menarik seberapa mampu pemerintah mendorong di level pertumbuhan double digit tanpa berharap ke windfall,” tutur Yusuf.

Pemerintah tampak optimistis penerimaan negara bisa tumbuh 22% – 29% karena adanya kenaikan tarif PPN menjadi 11%, implementasi pajak karbon, serta kenaikan tarif cukai hasil tembakau. Namun, menurut Yusuf selama proses pemulihan belum berjalan baik dan administrasi pajak belum optimal, usaha tersebut tidak akan mampu menopang penerimaan sampai tumbuh 20% pada 2023.

Berbeda pandangan dengan David, Yusuf menilai ‘berkah’ penerimaan dari harga komoditas yang tinggi kemungkinan hanya selesai di tahun ini. Pasalnya, volatilitas harga komoditas yang tinggi, bukan hanya berasal dari sentimen geopolitik, tapi juga sentimen lain yang bisa mempengaruhi.

“Menurut saya ada peluang sentimen Rusia-Ukraina akan selesai di tahun ini dan tidak akan berlanjut di tahun depan. Akan sangat sulit melihat sentimen harga komoditas ke penerimaan negara,” jelas Yusuf.

Adapun, pertumbuhan belanja negara tahun depan tergolong minim, hanya naik 3,82% – 9,76% dari target APBN 2022. Yusuf Rendy menilai, sumbangan belanja pemerintah ke pertumbuhan ekonomi akan lebih kecil.

Namun, pada pos-pos belanja untuk investasi dan pembangunan infrastruktur, menurut Yusuf berdampak signifikan terhadap pertumbuhan investasi yang trennya bisa kembali seperti sebelum pandemi terjadi.

Sumber : CNBC.Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only