Perhatian! DJP Kejar Lagi Pengawasan, Pembetulan SPT Jadi Opsi Tersisa

Jakarta. Bel tanda berakhirnya pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sudah berbunyi tepat pukul 23.59 WIB, Kamis (30/6/2022) lalu. Dengan begitu, tertutup sudah kesempatan bagi wajib pajak untuk menuntaskan kewajiban perpajakannya dengan memanfaatkan tarif PPh final melalui PPS.

Selepas PPS, Ditjen Pajak (DJP) kembali fokus pada peningkatan kepatuhan, pengawasan, hingga penegakan hukum. Perlu diketahui, selama 6 bulan PPS berjalan, otoritas lebih memilih untuk mengerem aktivitas pengawasan serta pemeriksaan. Wajib pajak lebih didorong untuk memanfaatkan PPS ketimbang dilakukan pemeriksaan.

Namun kini, penegakan hukum bakal kembali bergulir dengan kencang. Apalagi, DJP sudah punya akses luas terhadap data dan informasi dari lembaga keuangan domestik dan internasional.

“Ini tidak dalam rangka memberikan ketakutan, tapi saya ingin sampaikan kita akan menjalankan undang-undang secara konsisten dan setransparan dan seakuntabel mungkin,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers tentang hasil PPS.

Sri Mulyani juga memastikan bahwa pemerintah tidak akan menggelar program pengampunan pajak untuk ketiga kalinya. PPS memang menjadi program kedua yang digelar pemerintahan Presiden Jokowi, setelah Tax Amnesty pada 2016-2017 lalu.Berakhirnya PPS juga menyisakan opsi pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib pajak yang memiliki harta kurang diungkap. Hanya saja, ada konsekuensi yang ditanggung dari opsi pembetulan SPT ini.

Wajib pajak harus membayar sanksi administrasi berupa bunga apbila pembetulan SPT yang dilakukan justru membuat utang pajak menjadi lebih besar.Selain kedua topik di atas, masih ada pemberitaan lain yang juga menyita perhatian pembaca. Berikut adalah artikel-artikel perpajakan terpopuler dalam sepekan terakhir yang sayang untuk dilewatkan:

1. Ini Sanksi yang Menanti Jika Ada Harta yang Kurang Diungkap dalam PPS
Terdapat sanksi yang menanti apabila terdapat harta yang kurang diungkap oleh wajib pajak peserta PPS.

Bagi peserta tax amnesty yang masih memiliki harta yang belum atau kurang dilaporkan baik saat tax amnesty maupun PPS diselenggarakan, wajib pajak bisa dikenai PPh final sesuai dengan tarif pada PP 36/2017 ditambah sanksi 200% bila harta yang kurang diungkap ditemukan Ditjen Pajak (DJP).

Tarif PPh final pada PP 36/2017 ialah sebesar 25% untuk wajib pajak badan, 30% untuk wajib pajak orang pribadi, dan 12,5% untuk wajib pajak tertentu.

Bagi peserta kebijakan II PPS, terdapat pengenaan PPh final sebesar 30% ditambah sanksi bunga sebesar suku bunga acuan dengan uplift factor 15% bila DJP menemukan adanya harta yang kurang diungkapkan oleh wajib pajak.
PPh final beserta sanksi bunga atas harta yang kurang diungkapkan saat PPS berlangsung akan ditagih melalui penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB).

2. WP Dapat Surat Imbauan Tapi Tidak Ikut PPS, DJP Akan Tindaklanjuti
DJP akan melakukan tindak lanjut terhadap wajib pajak yang mendapatkan surat imbauan berisi data harta dari otoritas pajak, tetapi tetap tidak mengikuti PPS.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan data harta yang sempat disampaikan otoritas pajak kepada wajib pajak saat PPS berlangsung akan disampaikan kembali kepada wajib pajak.

“Setelah ini, kembali ke normal activites. Data yang kami punya, pasti kami sampaikan lagi ke wajib pajak nantinya. Minta wajib pajak untuk membetulkan SPT, misalnya seperti itu,” katanya.

3. PPS Jadi Booster Penerimaan Pajak, Setoran PPh Final Melonjak
PPS memberikan dorongan yang signifikan terhadap kinerja penerimaan PPh final pada Mei 2022.

Kementerian Keuangan mencatat pada Mei 2022 realisasi PPh final mampu mencapai Rp12,8 triliun atau tumbuh 65,9% bila dibandingkan dengan realisasi pada Mei 2021.

“Jika penerimaan PPS dipisahkan dari realisasi PPh final maka pertumbuhan penerimaan PPh final Mei 2022 hanya sebesar 13,49%,” tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN KiTa edisi Juni 2022.

Dengan demikian, dampak PPh final PPS terhadap pertumbuhan realisasi PPh final secara umum mencapai 52,41 poin persen.

4. Perpres Revisi APBN 2022 Terbit, Target Perpajakan Resmi Naik
Pemerintah resmi melakukan penyesuaian atas postur APBN 2022 seiring dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) 98/2022.

Merujuk pada Lampiran I Perpres 98/2022, target penerimaan perpajakan resmi ditingkatkan kurang lebih sebesar 18,1% dari yang awalnya senilai Rp1.510 triliun menjadi Rp1.783,98 triliun.

Target PPh ditingkatkan sebesar 19,5% dari yang awalnya hanya senilai Rp680,87 triliun menjadi Rp813,67 triliun dalam perpres terbaru. Selanjutnya, target PPN/PPnBM naik 15,2%, dari senilai Rp554,38 triliun menjadi Rp638,99 triliun.

Sementara itu, target cukai hanya dinaikkan sebesar 7%, dari yang awalnya senilai Rp203,92 triliun menjadi Rp220 triliun.

5. NIK Jadi NPWP Mulai 2023, Siapa yang Wajib Bayar Pajak?
Kementerian Keuangan menegaskan kembali mengenai implikasi terkait pengenaan pajak ketika Nomor Induk Kependudukan (NIK) sudah dipakai menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.

Dalam laporan APBN Kita edisi Juni 2022, Kementerian Keuangan menyatakan pengenaan pajak tidak dilakukan kepada semua pemilik NIK. Pasalnya, NIK akan diaktivasi sebagai NPWP ketika beberapa syarat kumulatif terpenuhi.

“Pemilik NIK yang wajib membayar pajak adalah mereka yang NIK-nya sudah diaktivasi. NIK akan diaktivasi jika pemilik NIK memiliki syarat subjektif dan objektif,” tulis Kementerian Keuangan dalam laporan tersebut.

Pemilik NIK harus sudah memenuhi syarat subjektif, yaitu sudah berusia 18 tahun. Kemudian, pemilik NIK juga harus memenuhi syarat objektif, yaitu berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp54 juta setahun untuk status belum menikah dan tidak ada tanggungan (TK/0) atau merupakan wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM beromzet di atas Rp500 juta setahun.

Sumber ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only