Transfer Pricing Menjadi Langkah Pencegahan Penghindaran Pajak

Transfer Pricing (TP) merupakan suatu kebijakan penetapan harga transfer yang digunakan dalam transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Umumnya TP ini dilakukan oleh perusahaan multinasional.

Salil Goyal sebagai salah satu Partner Tax RSM Indonesia mengatakan, kendati TP adalah proses lumrah dalam kegiatan industri, tak jarang proses ini dimanipulasi dengan tujuan untuk mengalihkan penghasilan dari perusahaan dalam suatu negara dengan tarif pajak yang tinggi ke perusahaan lain (dalam satu grup yang sama). Dengan tarif pajak yang lebih rendah dengan tujuan mendapatkan laba yang lebih besar.

Salil menilai dalam menyikapi ragam manipulasi harga transfer yang terjadi, otoritas pajak memiliki kewenangan memastikan harga transfer sudah sesuai dengan prinsip Arms Length Principle (ALP) yakni prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Di mana, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang memiliki peran penting dalam memberikan panduan transfer pricing, secara berkala menerbitkan panduan yang menjadi aturan main dalam skema penentuan harga transfer. Langkah ini bertujuan mencegah terjadinya tax abuse dan mencegah pemajakan berganda.

“Pada 2020, sebagai respon atas pandemi Covid-19 yang mempengaruhi aktivitas bisnis, OECD merilis panduan khusus yang salah satunya menegaskan bahwa data dari transaksi independen ‘contemporaneous uncontrolled transactions’ dapat menjadi data pembanding yang lebih wajar dan tepat diaplikasikan untuk menentukan harga transfer yang wajar dibandingkan dengan penggunaan three years approach,” ujar Salil Goyal dalam keterangannya, Senin (8/8/2022).

Salil menjelaskan, OECD sejak 2020 telah melakukan dua kali pembaruan terhadap Transfer Pricing Guidelines. Dia mencatat OECD kembali merilis Transfer Pricing Guidelines pada Januari 2022 memperbarui informasi penting yang mencakup penyempurnaan tiga acuan, di antaranya terkait kapan dan dalam kasus seperti apa pembagian laba transaksi (PSM) menjadi metode yang tepat untuk digunakan, pembaharuan pedoman Hard-to-Value Intangibles (HTVI), dan penentuan harga transfer atas transaksi keuangan.

Senada, International Tax Analyst di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Melani Dewi Astuti menilai pengesahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah memperbarui Pasal 18 ayat 3 UU PPh yang mengatur tiga isu penting, yakni penambahan metode penentuan harga wajar, penerapan benchmarking, dan secondary adjustment.

“Atas pembaharuan pada Pasal 18 ayat 3 UU PPh, penentuan harga wajar dapat dilakukan dengan tambahan 3 metode baru yakni comparable uncontrolled transaction method, tangible asset and intangible asset valuation, dan business valuation. Tujuan penambahan metode ini adalah untuk mengakomodasi penggunaan metode-metode baru selain 5 metode yang telah ditetapkan pada peraturan sebelumnya,” tambahnya.

Adanya penyebutan tambahan metode-metode baru transfer pricing yang tersedia dalam UU HPP diharapkan dapat menjadi langkah optimalisasi pencegahan penghindaran pajak internasional yang praktiknya banyak dilakukan melalui transfer pricing.

Sumber : Sindonews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only