Kalangan pengusaha tengah mempersiapkan perusahaan-perusahaannya menghadapi dampak resesi ekonomi global yang akan terjadi tahun depan. Pengusaha memperkirakan dalam jangka pendek dampak resesi global akan menerjang kinerja ekspor terlebih dahulu.
“Untuk jangka pendek, ekspor akan mengalami konstraksi,” kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani seperti dikutip, Rabu (28/9/2022).
Menurut Ajib, perkiraan resesi tahun depan telah disampaikan Presiden World Bank Group, David Mallpas. Dia menyebut bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga acuan dan trennya akan berlanjut hingga 2023. Kebijakan ini sebagai peredam inflasi yang terus menggeliat namun berdampak pada melemahnya ekonomi.
Melambatnya ekonomi itu bisa berujung resesi di banyak negara. Perkiraan ini juga disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu. Dia mengatakan bahwa ekonomi global akan memasuki jurang resesi pada 2023.
Ajib menegaskan, resesi adalah suatu kondisi di mana perekonomian negara sedang memburuk. Hal ini ditandai dengan menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi global ini tentu kata dia akan memberikan sejumlah dampak pada ekonomi Indonesia, meskipun tren pertumbuhan ekonom terus terjaga. Pada kuartal I/2022 ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 persen, kuartal II menjadi 5,44 persen, dan asumsi makro pemerintah secara agregat pun masih pede hingga akhir 2022 tercapai di kisaran 5,3 persen.
“Dengan konstraksi ekonomi global yang sedang terjadi, efek ekonomi yang merembet ke dalam negeri terutama sisa ekspor-impor, kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) terutama yang terkait dengan bahan baku impor,” kata Ajib.
Dampak rembetan resesi ini, menurut Ajib, akan semakin memberatkan ekonomi setelah pemerintah menerapkan kebijakan kebijakan fiskal yang ketat, seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen dan kenaikan harga BBM.
“Serta kebijakan moneter meningkatnya suku bunga acuan, akan membuat tekanan terhadap daya beli, dan selanjutnya akan berimbas pada sektor manufaktur,” ujar Ajib.
Dampak-dampak ini, kata Ajib, akan tertahan sedikit oleh upaya pemerintah yang sudah memitigasi efek jangka pendek menurunnya daya beli masyarakat ini dengan paket program Bantuan Langsung Tunai (BLT) selama empat bulan ke depan, sejak kebijakan kenaikan harga BBM. Serta bisa memberikan ruang bagi pengusaha untuk mencari strategi menghadapi tekanan ekonomi.
“Kebijakan pengetatan ekspor Crude Palm Oil (CPO), moratorium ekspor batubara, dan wacana ekspor nikel mentah pada tahun 2023 nanti, juga menjadi bagian dari program cerdas pemerintah untuk mendapat keuntungan ekonomi jangka panjang,” ujar Ajib.
Sebagai informasi, kinerja ekspor Indonesia sebetulnya masih moncer hingga Juli 2022. Tercermin dari surplus neraca perdagangan Indonesia yang sebesar US$4,23 miliar pada Juli 2022. Tapi surplus ekspor impor mulai merosot dari catatan Juni 2022 sebesar US$5,15 miliar.
Kinerja surplus neraca perdagangan Indonesia ini terjaga sejak Mei 2020. Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Juli 2022 secara keseluruhan mencatat surplus US$29,17 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama pada 2021 sebesar US$15,95 miliar.
Sumber: kabarbisnis.com
Leave a Reply