Indonesia Masih Membutuhkan Lebih Banyak Ahli Pajak, Ini Alasannya

SERANG, Peluang bagi para sarjana untuk berprofesi di bidang perpajakan masih terbuka lebar. Pasalnya, saat ini jumlah ahli pajak di Indonesia yang bekerja sebagai praktisi, akademisi, konsultan, pengamat, hingga peneliti masih tergolong minim.

Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji berpandangan jumlah pakar perpajakan yang berprofesi pada bidang-bidang tersebut perlu ditambah guna memenuhi permintaan yang ada.

“Jumlah konsultan pajak di Indonesia per 2020 cuma 5.589 konsultan. Rasionya dibandingkan dengan jumlah penduduk adalah 1 banding 48.417. Jadi 1 konsultan harus melayani 48.417 penduduk,” ujar Bawono dalam kuliah umum perpajakan bertajuk Peluang Pekerjaan di Bidang Perpajakan yang digelar oleh Tax Center Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Selasa (11/10/2022).

Dari sisi permintaan, jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar tercatat masih sebanyak 45,4 juta wajib pajak atau 32,4% dari total angkatan kerja. Adapun jumlah wajib pajak badan yang melaporkan SPT kurang lebih hanya sebanyak 900.000 wajib pajak badan.

Angka ini menunjukkan jumlah permintaan oleh wajib pajak terhadap pelayanan pajak yang optimal masih sangat besar. Artinya, peluang kerja bagi para sarjana yang ingin berkecimpung di bidang perpajakan sesungguhnya sangatlah besar.

Tak hanya konsultan, Indonesia juga masih kekurangan akademisi yang mengambil peran sebagai pemikir di bidang perpajakan. Bawono mengatakan kehadiran para akademisi di bidang perpajakan amat diperlukan guna menciptakan diskursus kebijakan pajak yang lebih baik.

“Kita kekurangan pemikir-pemikir di bidang pajak. Kebijakan yang didesain itu harus melalui partisipasi publik sehingga ada ruang untuk diskusi atau melakukan riset atau merumuskan secara lebih berimbang,” ujar Bawono.

Selain akademisi, jumlah peneliti yang melakukan riset di bidang perpajakan di Indonesia masih cenderung kurang. Padahal riset amat dibutuhkan untuk menciptakan desain sistem perpajakan yang kuat.

Perlu diingat, perpajakan bukanlah topik yang hanya bisa dikaji oleh segelintir disiplin ilmu tertentu seperti akuntansi dan ekonomi. Bawono mengatakan pajak perlu dikaji dari disiplin ilmu lainnya seperti hukum, sejarah, manajemen, filsafat, dan bidang-bidang lainnya.

“Pajak tidak bisa didekati oleh 1 disiplin ilmu saja. Artinya, seluruh pihak dengan latar belakang ilmu harus berkolaborasi. Pendekatan multidisiplin ilmu juga sudah banyak diimplementasikan di berbagai kampus ternama dunia.,” ujar Bawono.

Dalam kuliah umum yang sama, Ketua Career Development Center and Counseling (CDCC) Untirta Wahyu Susihono mengatakan terdapat beberapa keahlian-keahlian yang diperlukan oleh para pekerja di tengah perkembangan teknologi informasi automasi.

Wahyu mengatakan kehadiran automasi memang tidak akan menghilangkan peran manusia dalam proses kerja. Namun, keahlian-keahlian khusus tetap diperlukan agar tantangan yang timbul dari kehadiran automasi bisa direspons. “Robot tidak memiliki kreativitas dan fleksibilitas. Robot tidak bisa beradaptasi terhadap perubahan,” ujar Wahyu.

Guna merespons tantangan dari automasi, Wahyu mengatakan pekerja harus adaptif terhadap perubahan-perubahan cara kerja dengan terus mengembangkan keahlian sesuai dengan kebutuhan kerja yang diperlukan pada masa yang akan datang.

Sumber: DDTCNews

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only