Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku pada 1 April 2022 lalu. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan pajak karbon akan ditunda hingga 3 tahun ke depan. Artinya penarikan pajak dari sektor penyumbang emisi terbesar ditunda hingga tahun 2025 mendatang.
“Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” kata Menko Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022 (CMSE 2022) di Jakarta, Kamis (13/10).
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyayangkan penundaan penerapan pajak karbon oleh pemerintah. Padahal tarif pajak karbon Indonesia sangat murah dan berpotensi banyak peminatnya.
“Keputusan menunda pajak karbon sangat disesalkan,” kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (13/10).
Bhima menuturkan, idealnya pajak karbon yang diterapkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tidak berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen. Selain itu, penerapan pajak karbon bisa memberikan insentif kepada PLN sebagai modal pengembangan pembangkit dengan listrik dari sumber energi baru terbarukan.
“Logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dana nya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon,” tuturnya.
2 dari 2 halaman
Dorong Energi Baru Terbarukan
Sehingga, berdasarkan logika tersebut penerapan pajak karbon mendorong tercipta pembangkit EBT yang lebih ramah lingkungan. PLN juga akan diuntungkan karena merealisasikan program penggunaan energi bersih.
“Yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN,” kata dia.
Selain itu, hasil pungutan pajak karbon bisa digunakan untuk insentif di sektor lain yang berorientasi pada transisi energi. Bahkan bisa menciptakan lapangan kerja baru dari program yang dibuat pemerintah untuk menurunkan emisi karbon.
Sehingga dia menyangsikan alasan pemerintah yang menunda pajak karbon karena situasi ekonomi yang masih tidak menentu. Sebab penerapan pajak karbon bisa menjadi sumber lain pendapatan negara.
“Kenapa tidak diterapkan saja secepatnya? Ini yang kami heran. Apakah pemerintah khawatir ditekan oleh pengusaha batu bara yang merasa dirugikan dengan pajak karbon?,” ungkapnya.
Dia menambahkan mundurnya penerapan pajak karbon menunjukkan inkonsistensi pemerintah terhadap mitigasi perubahan iklim. “Dengan mundurnya penerapan pajak karbon pemerintah sebenarnya tidak konsisten dalam mendorong mitigasi perubahan iklim,” pungkasnya.
Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku pada 1 April 2022 lalu. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan pajak karbon akan ditunda hingga 3 tahun ke depan. Artinya penarikan pajak dari sektor penyumbang emisi terbesar ditunda hingga tahun 2025 mendatang.
“Salah satu yang akan diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” kata Menko Airlangga dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022 (CMSE 2022) di Jakarta, Kamis (13/10).
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyayangkan penundaan penerapan pajak karbon oleh pemerintah. Padahal tarif pajak karbon Indonesia sangat murah dan berpotensi banyak peminatnya.
“Keputusan menunda pajak karbon sangat disesalkan,” kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (13/10).
Bhima menuturkan, idealnya pajak karbon yang diterapkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tidak berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen. Selain itu, penerapan pajak karbon bisa memberikan insentif kepada PLN sebagai modal pengembangan pembangkit dengan listrik dari sumber energi baru terbarukan.
“Logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dana nya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon,” tuturnya.
2 dari 2 halaman
Dorong Energi Baru Terbarukan
Sehingga, berdasarkan logika tersebut penerapan pajak karbon mendorong tercipta pembangkit EBT yang lebih ramah lingkungan. PLN juga akan diuntungkan karena merealisasikan program penggunaan energi bersih.
“Yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN,” kata dia.
Selain itu, hasil pungutan pajak karbon bisa digunakan untuk insentif di sektor lain yang berorientasi pada transisi energi. Bahkan bisa menciptakan lapangan kerja baru dari program yang dibuat pemerintah untuk menurunkan emisi karbon.
Sehingga dia menyangsikan alasan pemerintah yang menunda pajak karbon karena situasi ekonomi yang masih tidak menentu. Sebab penerapan pajak karbon bisa menjadi sumber lain pendapatan negara.
“Kenapa tidak diterapkan saja secepatnya? Ini yang kami heran. Apakah pemerintah khawatir ditekan oleh pengusaha batu bara yang merasa dirugikan dengan pajak karbon?,” ungkapnya.
Dia menambahkan mundurnya penerapan pajak karbon menunjukkan inkonsistensi pemerintah terhadap mitigasi perubahan iklim. “Dengan mundurnya penerapan pajak karbon pemerintah sebenarnya tidak konsisten dalam mendorong mitigasi perubahan iklim,” pungkasnya.
Sumber: merdeka.com
Leave a Reply