Harga rokok bakal melambung tinggi. Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau 10%. Besaran persisnya, tergantung dari jenis dan golongan rokok. Misalnya, tarif cukai sigaret kretek mesin (SKM) golongan I dan II naik rata-rata 11,5% – 11,75%. Lalu sigaret putih mesin (SPM) golongan I dan II naik 11%-12%. Sementara sigaret kretek pangan (SKP) golongan I, II, III naik 5%.
Pemerintah beralasan, kenaikan cukai demi mendongkrak penerimaan, menurunkan prevelensi perokok anak, memajukan petani tembakau, dan menangani rokok illegal. Bagi industri rokok, kenaikan cukai hingga dua digit bakal semakin memberatkan. Seberapa besar dampaknya? Ketua Umum Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susinto mengatakan kepada wartawan.
Kontan : Cukai rokok naik 10% respons Formasi ?
Heri : Sebenarnya, usulan Formasi soal kenaikan cukai rokok per dua tahun sudah diakomodir. Tapi, besaran kenaikan yang dua digit, tentu memberatkan. Padahal, DPR sendiri mengajukan kenaikan cukai rokok hanya 7%. Toh, mustahil untuk ditangguhkan kalua sudah diumumkan. Tapi, yang paling menarik soal alasan kenaikan cukai untuk menurunkan prevalensi perokok anak ke angka 8% itu tidak ada kolerasinya. Kami sudah bersurat kepada Presiden Joko Widodo untuk audiensi, kemudian dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Sebab, alasan kenaikan cukai rokok 10% tidak masuk akal.
Kontan : Jadi, harga rokok mahal tidak berkolerasi terhadap penurunan angka prevalensi perokok anak?
Haeri : Persoalannya bukan harga rokoknya, tapi pemerintah harus memberantas rokok ilegal polos. Misalnya, SKM golongan II dijual Rp 25.000 per bungkus, tapi rokok ilegal cuma Rp 7.000 isi 20 batang. Daya beli anak-anak, uang sakunya hanya bisa beli rokok ilegal karena harga sebungkus Rp 7.000, mereka bisa patungan dengan teman-temannya.
Kontan : Tapi, apakah produsen punya mekanisme pengawasan agar rokok tidak diakses oleh anak-anak?
Heri : Kalau produk rokok produsen besar yang tercatat, mudah dideteksi tapi tidak bisa dibebankan oleh produsen. Pengawasan justru harusnya diperkuat pemerintah. Tapi, selama ini kan tetap saja rokok ilegal banyak beredar. Malah, sekarang karena harga rokok akan naik, rokok ilegal sudah masuk Ibu Kota Jakarta. Masalahnya pemain rokok ilegal punya backing. Istilahnya tali raffia tali sepatu, sesama mafia harus bersatu. Kalau soal pengawasan ini bisa berjalan dengan baik, saya yakin angka prevalensi perokok anak bisa turun.
Kontan : Memang, seberapa tertekan industri oleh kenaikan cukai dua digit?
Heri : Kami industri yang dibebankan triple pack pungutan. Jadi, kalau ditotal pungutan untuk produk rokok bisa mencapai 70% hingga 72% dan langsung lari ke negera. Ada cukai, pajak daerah dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Daerah malah dapat dua, retribusi masuk, cukai juga. Jadi ini memberatkan dan harus diselesaikan. Pengusaha maksimal hanya dapat 30% dari penjualan termasuk juga untuk bahan baku, retur, ongkos pabrik, dan biaya lainnya. Kami seperti BUMN swasta, kalau lagi sepi didatangi, kalau bagus dicurigai. Sedangkan pemerintah tidak membereskan rokok ilegal.
Kontan : Seberapa besar dampak peredaran rokok ilegal terhadap industri?
Heri : Produksi pabrik rokok SKM golongan I turun 11%. Logikanya kalau produksi golonga I turun, golongan II naik karena konsumsinya tetap. Tapi, SKM golongan II cuma tumbuh 0,5%. Pertanyaannya, lari kemana serapannya? Yang besar justru rokok ilegal. Tapi pemerintahkan tidak mendapatkan pemasukan negara dan kami juga tidak kebagian. Makanya, kami mau audiensi dengan pemerintah. Soal kenaikan cukai kami setuju saja tapi kami minta rokok ilegal diberantas, itu akan menjadi insentif bagi kami.
Kontan : Lalu, bagaimana industri menyiasati kenaikan cukai yang tinggi?
Heri : Sebenarnya walaupun ekonomi kita resesi, industri kecil tetap kuat, terbukti SKT tetap tumbuh. Ada juga yang alih golongan yang penting bisa ngebul. Problemnya, golongan I dan II yang akan berat. Golongan III kan dijaga karena mereka padat karya, jadi cukainya tidak bisa tinggi-tinggi. Tapi kalau rokok ilegal tidak diselesaikan lama-lama golongan III akan head to head dengan rokok ilegal yang sebungkus cuma Rp 7.000. Dengan kondisi sulit seperti sekarang, pasti orang cari yang murah. Rokok ilegal buka berarti produk jelek, tetapi produk layak. Bedanya mereka tidak dipungut pajak 70% seperti kami di industri. Dengan kenaikan cukai, bukan hanya golongan I dan II yang akan sulit, tapi golongan III juga nanti akan berhadapan dengan rokok ilegal.
Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2019 prevalensi merokok anak terus turun. Dari 3,87% pada 2019 menjadi 3,81% di 2020 dan angkanya turun menjadi 3,15% pada 2021.
“Seharusnya dengan turunnya prevalensi perokok anak, tak membuat tarif cukai terus naik, apalagi dalam situai seperti ini” kata Henry.
Pengutan pemerintah berupa cukai selama tiga tahun berturut-turut juga mengerek harga jual eceran (HJE) rokok secara eksesif. Misalnya pada 2020, tarif cukai naik 23,5% dan mengerek HJE rokok 35%. Sedangkan di 2021, tarif cukai naik 12,5% dan mendorong HJE rokok 12%. Selama tiga tahun terakhir tarif cukai naik 48% dan HJE melesat 60%. Dan Henry mengungkapkan industri rokok juga masih dibebani pajak daerah dan retribusi daerah sebesar 10% dari nilai cukai. Lalu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran. Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponan tersebut mencapai 76,3% – 83,6% dari setiap harga batang rokok yang dijual. Sisanya 16,4% – 23,7% bagi pabrik rokok untuk membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead, serta Program Tanggungjawab Sosial (CSR). Gappri yakin kenaikan tarif cukai akan menguntungkan kenaikan rokok ilegal. Soalnya gap harga dengan rokok legal semakin besar.
Berdasarkan hasil kajian lembaga Indodata yang Gappri bagikan, pada 2021 lalu persebaran rokok ilegal telah mencapai 26, 38% dari peredaran rokok nasional. Akibatnya nilai potensi cukai yang bisa hilang mencapai Rp 53,18 triliun, karena itu Gappri berharap Presiden Jokowi bisa meluangkan waktu untuk berdialog mendengarkan langsung kondisi dan fakta industri. Terlebih Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengklaim keputusan pemerintah megerek tarif cukai rokok akan memukul enam juta tenaga kerja dalam ekosistem pertembakauan, termasuk 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh. Kontraksi serapan tenaga kerja pun bisa terjadi.
“Ketika cukai hasil tembakau naik, pabrikan akan berhitung mengatur strategi yang berujung pada pengurangan jumlah serapan tembakau dari petani. Apalagi selama ini segmen SKT yang menyerap paling banyak tembakau dan cengkeh petani” kata Hananto Wibisono, Sekretaris Jenderal AMTI.
Tak hanya itu, kondisi berbagai harga barang kebutuhan yang mahal, pencabutan pupuk subsidi, dan potensi resesi akan semakin memukul mata pencaharian petani. AMTI mengharapkan, pemerintah bisa meninjau ulang besar kenaikan tariff cukai rokok di 2023 dan 2024, demi kemslaharan jutaan tenaga kerja di dalamnya.
Nilai kurang tinggi
Kendati mengapresiasikan kenaikan cukai, Komnas Pengendalian Tembakau belum puas dengan angka 10%. Sebab besarannya belum cukup untuk menekan konsumsi dan prevalensi perokok anak.
“Kenaikan cukai hasil tembakau tahun 2023 dan 2024 tidak sensitive pada situasi saat ini. Anak-anak tetap mendapat akses mudah dan murah terhadap rokok, termasuk rokok elektronik,”ujar Hasbullah.
Ada banyak alasannya yang terutama, merokok terkait dengan 140 penyakit, mulai jantung, kecacatan anak, hingga stunting. Untuk menghasilkan generasi yang sehat, perlu pengurangan konsumsi rokok.
Mengutip temuan CISDI pada 2021, konsumsi rokok juga menyebabkan kerugian makro ekonomi di 2019 mencapai Rp 183,36 triliun hingga Rp 410,76 triliun termasuk menyumbang 61,2% – 91,8% dari defisit BPJS Kesehatan tahun 2019.
Selama ini angka produksi rokok terlihat tidak terpengaruh oleh kenaikan kenaikan cukai. Tercatat produksi rokok sepanjang 2021 lalu mencapai 320 miliar batang atau lebih tinggi dari realisasi di 2020 sebanyak 298,4 miliar batang.
CISDI menghitung kenaikan cukai hingga 46% akan mendorong penurunan konsumsi signifikan serta penerimaan negara masih layak secara ekonomi. Maka seharusnya cukai rokok tahun depan naik 20% – 25% untuk mengendalikan konsumsi sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Tambah lagi, Hasbullah bilang, selama ini kesejahteraan petani tembakau dan pekerja pabrik rokok tetap rendah. Ada baiknya, pemerintah mengalokasikan kenaikan cukai untuk melatih keterampilan baru para tenaga kerja rokok atau dialokasikan kepada petani tembakau untuk bertani lain yang lebih menguntungkan.
Kepala Lembaga Demografi FEB Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan menyebutkan, kenaikan tarif cukai 10% terlalu kecil. Untuk mencapai target prevalensi dalam RPJMN, menurut dia kenaikan cukai harus diatas 25%.
Untuk menetapkan tarif cukai selanjutnya, Komnas Pengendalian Tembakau meminta pemerintah menghitung sesuai perkiraan inflasi setiap tahun maupun tingkat kenaikan upah pekerja untuk mengurangi keterjangkauan rokok.
Selain itu, cukai akan efektif jika ada penyederhanaan golongan. Skema delapan golongan tarif cukai saat ini membuat jarak harga rokok termahal (SKM) dengan termurah (kretek tangan) sangat lebar.
Ini memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah. “Seharusnya rokok kretek tangan yang sama-sama merusak kesehatan memiliki kenaikan yang sama atau lebih tinggi karena rokok termurah tetap bisa diakses anak-anak dan orang miskin” kata Abdillah.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih memperhatikan pravelensi rokok elektrik yang saat ini paling banyak merambah ke anak dan remaja.
Abdillah meminta pemerintah tidak menyerahkan pertumbuhan ekonomi kepada industri yang merusak kesehatan. “Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang sehat, pemerintah harus memperhatikan cara menurunkan kemiskinan, pengangguran, meningkatkan akses pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia” tegas Abdillah.
Sumber : Tabloid Kontan, Senin 14 November – 20 November 2022 halaman 8
Leave a Reply